• Home
  • Profil
  • Others
    • Review
    • Culture
    • Story
  • Wildlife
  • Travel
facebook twitter instagram Email

Part Time Veterinarian



Minggu, 27 November 2011
Seharusnya saya ada di Pusat Penyelamatan Satwa (PPS) Gadog hari ini. Setelah mendapat pesan singkat dari ketua Himpro Satwa Liar tentang pengamatan di Taman Mini Indonesia Indah, saya memutuskan untuk meminta izin pada Bu Annete pengelola di PPS gadog dan atas kebaikan hatinya saya diberi izin. Dan hari ini saya dan 8 rekan dari Himpro Satli dan 2 pendatang dari HKSA berangkat ke Taman Mini Indonesia Indah.
Seperti biasa, kami berkumpul di BNI Dramaga -tempat favorite yang digunakan lebih dari 90% mahasiswa IPB untuk janjian- dan akhirnya kami berangkat ke Taman Mini Indonesia Indah dengan berbekal pengetahuan sangat minimal tentang perjalanan ke Taman Mini Indonesia Indah. Kalau untuk perjalanan turun naik angkot, bis, kereta saya emang jagonya walaupun sesekali nyasar, tapi kalau untuk jalan tol modal yang saya pake adalah ingatan saat jalan bareng uni.
Share
Tweet
Pin
Share
7 Comments
Saya kembali melirik dunia blogger setelah salah satu teman di kampus heboh mempromosikan blog miliknya di dunia facebook. Tapi, karena terlalu bersemangat saya melakukan kesalahan terhadap pengaturan blog itu dan kesal setengah mati karena hal itu tidak dapat diperbaiki. dan akhirnya saya memutuskan untuk membuat account baru lalu copy-paste semua postingan di blog lama ke blog ini.
Share
Tweet
Pin
Share
2 Comments
Ada banyak kebetulan di dunia ini, bersama dengan semua itu ada juga banyak kesempatan yang bisa menghampiri.
Aku bisa saja bertemu seorang teman sekolah di tengah keramaian pasar. Secara kebetulan, aku bisa bertemu orang yang lahir di tanggal dan rumah sakit yang sama. Atau, aku memimpikan seseorang yang tak pernah ku kenal dan beberapa waktu kemudian aku melihatnya di dunia nyata, aku bertemu dia di dunia ku, dejavu.
Tapi, kebetulan dan kesempatan itu tak pernah ada untuk sesuatu yang sangat aku inginkan.
Share
Tweet
Pin
Share
No Comments
“Asalamualaikum!” aku mengucapkan salam sambil mengetok pintu rumahku dan tak ada jawaban. Aku berusaha melompat untuk menekan bel yang jauh dari jangkauanku, tiba-tiba pintu itu terbuka dan aku segera berlari masuk mengikuti wanita yang membukakan pintu untukku.
“Apa materi baru yang dipelajari hari ini?” Tanya wanita itu, setelah aku duduk di depan televisi dan mengganti channel melalui remote control di tanganku.
“Membaca jam, Nek.” Jawabku singkat, aku sudah terbiasa dengan pertanyaan ini setiap kembali dari sekolah “Sisi menjadi murid pertama yang bisa membaca jam, lho.” Ujarku bangga sambil melepaskan dasi yang terpasang rapi di kerah seragamku. Lalu cerita lengkap mengenai kegiatan di sekolah hari ini mengalir lancar dari bibirku, Nenek dengan cermat mendengarkan ceritaku, sesekali beliau memberi komentar atas tindakan yang tidak seharusnya aku lakukan seperti menangis ketika seorang teman laki-lakiku mematahkan ujung pensilku.
Share
Tweet
Pin
Share
1 Comments
“Mengapa engkau berpaling, apakah aku tidak menarik hatimu?” Suara Azka menjadi lebih keras dan tegas saat menirukan ucapan sang Puteri Alpen yang cantik saat seorang pemuda datang untuk melihat dan mengagumi kecantikannya. Seorang pemuda yang mendaki Gunung Alpen untuk melihat kecantikan puteri raja beserta hatinya yang dingin dan tak pernah tersenyum, seperti yang menjadi pembicaraan warga saat bersua di kedai-kedai dekat kaki Gunung Alpen.
“Putri sangatlah cantik dan menawan, setiap pemuda yang melihat putri pastilah akan jatuh cinta, begitu juga dengan saya. Namun saya hanyalah penggembala miskin yang tidak mungkin mampu memberikan barang-barang yang bagus apalagi perhiasan yang indah untuk menyenangkan hati putri. Saya juga bukan lah seorang terpelajar yang bisa merangkai kata dan kalimat yang indah untuk memikat hati putri, bagi saya pertemuan ini saja sudah merupakan anugerah” lanjut Azka sebagai jawaban dari sang pemuda, Azka menghela nafas panjang “Sang Puteri terpana dan kagum akan kesederhanaan pemuda itu, puteri meminta pemuda itu untuk menemuinya lagi.” Azka mengakhiri ceritanya.
“Apakah mereka akan bahagia seperti Cinderella dan pangeran??” Lizzie menanyakan akhir kehidupan Puteri Alpen yang masih belum seharusnya belum berakhir.
“Suatu hari nanti aku akan menceritakan akhir kisah cinta Puteri Alpen dan pemuda itu.” Jawab Azka dengan tersenyum usil “Bukan sekarang!” tegasnya lagi.
Lizzie tidak puas akan jawaban dari sahabatnya dan tersenyum kecut menunjukkan kekecewaanya pada Azka, yang sering menceritakan dongeng dari berbagai belahan dunia padanya. Lizzie kecewa karena Azka tidak mengakhiri dongeng ini seperti dia menceritakan dongeng lainnya, Cinderela, Puteri salju, gadis berkerudung merah, dan banyak dongeng lainnya.
***
Share
Tweet
Pin
Share
No Comments
20 ramadhan

Mau tidur, mata udah gak bisa merem lagi.
Mau ngemil, lagi puasa.
Mau main, diluar panas banget.

Beberapa ide dari teman-temanku:
# Nonton, kegiatan standar mahasiswa disaat liburan. Beli dvd gocengan dan bisa nonton drama asia selama berjam-jam (akibat episodenya yang banyak, tapi emang sih gak akan lebih banyak dari sinetron indonesia)

#Tidur, kan diatas udah ditulis kalau mata udah gak bisa merem lagi.
Share
Tweet
Pin
Share
No Comments
Bogor menyenangkan

Bogor memberikan apa yang selama ini aku cari

Bogor memiliki IPB

Ada banyak bukit di Bogor

Ada Taman Nasional

Ada puncak-puncak yang ditutupi kabut dipagi hari

Ada hujan (tentu saja, di Kota Hujan)

Tetap saja namanya Bogor

Tetap akan menjadi kota Hujan

Tetap akan menjadi rumah keduaku

Bogor tak punya bukit barisan

dan Bogor adalah Jawa

Bukan Sumatera...

Dan Rumahku tetap ada di sumatera

Dikelilinggi bukit barisan

Dengan puncak tertinggi sumatera yang menaungginya

So...

intinya...

Aku merindukan rumahku

Aku ingin menyapa nya dipagi hari

Menghirup tiap mol oksigen tanpa polusi

aku akan pulang...
Share
Tweet
Pin
Share
No Comments
Aku mengerti makna terlambat
Dan aku tau akibatnya
Tapi, aku hanya diam
Membiarkan diriku terlarut dalam perasaan ini
Menimbulkan kegelisahan dihatiku
Tanpa berusaha mematikan rasa cinta padamu

Tanpa ada kata
Tanpa ada kalimat
Dan tak ada petunjuk
Aku tak akan pernah hadir

Dan kalaupun takdir mempertemukan kita
Aku tau bahwa
Aku terlambat!!!
Share
Tweet
Pin
Share
No Comments
@St. Cawang
Halaman ini hanyalah pikiranku, bukan tentangku, bukan alur hidup yang aku jalani.
Semua ini adalah terkait seseorang dan serangkaian benda yang ada dihadapanku, benda peninggalan kolonial hasil kerja keras nenek moyang kita pada zaman penjajahan.
'Ini adalah kisah tentang sepasang rel kereta'

Share
Tweet
Pin
Share
No Comments

Masih mempertanyakan ini perjalanan untuk pengamatan atau untuk berwisata?
Tapi apapun itu, kesimpulan akhirnya aku akan tetap menyukai perjalanan ini.
21 Mei 2011
Bangun jam 3 pagi dan lansung mandi apa adanya, lalu berangkat ke BNI jam 03.20 dengan ransel yang udah aku packing malamnya (menurut ka Devi barang-barang yang aku bawa lebih mirip orang yang mau piknik bukannya pengamatan ke hutan). Perjalanan ke sukabumi naik truck jam 4 lebih dan menghirup segarnya udara shubuh di tengah kota Bogor. Menghirup udara segar di tengah kota yang telah tercemar polusi merupakan pengalaman langka buat aku yang gak suka lari pagi dan selalu keluar rumah lewat dari jam 7 pagi dan telah banyak kendaraan terutama angkot yang melewati jalan raya dramaga. Selama perjalanan ini kami diikuti oleh sebuah bintang (mungkin terdengar bodoh diucapkan oleh aku yang telah mendapat pelajaran tentang rotasi dan revolusi bumi) hingga matahari terbit dan sinar bintang itu terkalahkan oleh terangnya sinar mentari pagi.
Sesampainya di pos awal, kita sarapan pagi dan setelahnya lansung melanjutkan perjalanan on foot ke camp yang ada di tengah hutan.
Share
Tweet
Pin
Share
8 Comments
“Menjadi orang pertama yang menginjakkan kakinya di puncak Everest adalah impian anda, tugas saya hanyalah membantu anda untuk mencapainya”, Tenzing menatap lurus kepada Edmund “Diberi kesempatan untuk bisa membantu mewujudkan impian anda, merupakan kebanggaan dan kebahagiaan besar bagi saya”. Setetes air mata haru yang penuh dengan ketulusan jatuh di pipi Tenzing, tangannya pun terulur menjabat tangan Edmund “Selamat”
(dikutip dari: http://www.facebook.com/note.php?note_id=269217211610)

Aku sangat terharu setelah membaca kalimat ini dan akhirnya aku mengutip kalimat ini dan menulisnya di notes facebookku..

Hal yang tersirat di benakku saat ini adalah...
  • Semua orang mempunyai mimpi, mimpi yang begitu indah, begitu jauh, dan bahkan terkadang sangat liar hingga begitu sulit untuk mewujudkannya.
  • Tidak banyak orang yang bermimpi untuk membantu orang lain untuk mewujudkan mimpinya, bahkan aku tidak pernah sekalipun berpikir demikian.
  • Berpikir dunia akan menjadi lebih indah ketika kita berusaha membantu orang lain mewujudkan mimpinya. walaupun terkadang kita seperti ngojek mimpi orang lain.
  • Dan, suatu hari akan ada seorang yang akan mengulurkan tangannya untuk membantu kita mewujudkan mimpinya.
  • Mari menjadi Tenzing berikutnya dengan membantu Edmund mewujudkan mimpinya hingga ke puncak tertinggi, titik terjauh, dan samudera terdalam..
Hal konyol yang aku pikirkan adalah....
  • Kalau tenzing tidak berjiwa besar dalam membantu edmund, mungkin saja puncak tertinggi di dunia 8850mdpl akan diberi nama Mount Tenzing bukan Mount Everest
  • Edmund akan merasa sangat sedih karena dia tertinggal hanya satu langkah dari impiannya untuk menempelkan jejak manusia pertama di puncak tertinggi dunia..
“Jika menjadi orang kedua yang mencapai puncak adalah sesuatu yang memalukan, maka biarlah saya hidup dengan perasaan malu itu” kalimat yang menunjunkkan kebesaran hati Tenzing saat diwawancarai pers setelah pendakiannya.
Share
Tweet
Pin
Share
No Comments
Klasifikasi ilmiah
Kerajaan :
Animalia
Filum :
Chordata
Kelas :
Aves
Ordo :
Strigiformes
Wagler, 1830
Suku/familia
Strigidae
  • Celepuk reban (Otus lempiji)
  • Beluk jampuk (Bubo sumatranus)
  • Beluk ketupa (Ketupa ketupu)
  • Punggok coklat (Ninox scutulata)
  • Kokok beluk (Strix leptogrammica)

Tytonidae
  • Serak jawa (Tyto alba)
  • Serak bukit (Phodilus badius)

Burung hantu atau Owl merupakan salah satu simbol pada tulisan Hieroglif yang digunakan oleh bangsa mesir kuno dan juga digunakan pada simbol bangsa Maya. Selain itu burung hantu merupakan lambang kebijaksanaan pada zaman Yunani kuno. Pada zaman ini burung hantu populer sebagai sahabat penyihir seperti halnya di film Harry Potter, namun di tempat lainnya burung hantu mempunyai sisi mistis yang dianggap sebagai pertanda akan datangnya kematian. Di Jawa burung hantu dikenal dengan sebutan darès atau manuk darès dan di Sulawesi Utara, burung hantu dikenal dengan nama Manguni.
Burung hantu adalah kelompok burung yang merupakan anggota ordo Strigiformes. Burung ini termasuk golongan burung buas (karnivora, pemakan daging) dan merupakan hewan malam (nokturnal). Menyebar di seluruh dunia kecuali Antartika, sebagian besar Greenland, dan beberapa pulau-pulau terpencil yang terdiri dari 222 spesies. Fosil tertua burung hantu yang ditemukan diperkirakan telah berumur 58 juta tahun. Yang terbesar adalah Orinmegalonyx oteroi, dengan tinggi sekitar 3 kaki.
Burung hantu memiliki mata yang besar dan menghadap kedepan, sehingga memungkinkan mengukur jarak dengan tepat, terlingkupi oleh tulang mata sehingga tidak bisa melirik ke kiri atau ke kanan. Mempunyai 3 kelopak mata: 1 untuk mengejapkan bila ada gangguan, 1 untuk tidur dan 1 untuk membersihkan mata. Indera penglihatan burung hantu 50-100 kali lebih baik dari manusia, namun masih jauh tertinggal dibandingkan elang. Memiliki paruh yang kokoh dan tajam, kaki yang cekatan dan cengkraman yang kuat disertai kemampuan terbang yang tidak menimbulkan suara sehingga memudahkannya berburu pada malam hari. Burung hantu memiliki indera pendengaran yang sangat baik dengan dibantu oleh bulu-bulu wajah untuk mengarahkan suara saat akan menangkap mangsa. Burung hantu berburu aneka binatang seperti serangga, kodok, tikus, dan lain-lain.
Sarang terutama dibuat di lubang-lubang pohon, atau di antara pelepah daun bangsa palem. Beberapa jenis juga kerap memanfaatkan ruang-ruang pada bangunan, seperti di bawah atap atau lubang-lubang yang kosong. Bertelur setiap lima bulan antara satu hingga empat butir, kebanyakan berwarna putih atau putih berbercak. Burung hantu termasuk jenis yang tidak bisa merawat telurnya sehingga hanya setengah dari telur yang berhasil ditetaskan. Burung hantu betina akan mengerami telur selama lima minggu dan jantan akan bertugas menjaga sarang sekaligus mencari makan. Burung hantu termasuk hewan monogami yang hanya satu kali kawin seumur hidupnya.
Share
Tweet
Pin
Share
No Comments
Jika ada hal yang ingin ku bagi denganmu, maka itu adalah sebuah kebaikan.
Dan, cerita yang ingin ku tukarkan denganmu, bukanlah sebuah kegalauan.

Tp, bagaimana aku harus menempatkan diriku?
Jika semua hal tentangmu dan seluruh kenangan akan dirimu
Bukanlah sebuah kebahagiaan untukku ataupun untukmu.

Kau selalu menimbulkan keraguan di tiap langkahku,
Keraguan yang membuatku berubah menjadi sebuah baling-baling,
Sebuah baling-baling yang sangat mudah dipengaruhi oleh angin yang berhembus.

Tapi, percayalah. . .
Ada sebuah kebaikan yang bisa kutawarkan padamu
Aku akan selalu menginginkan dirimu di setiap langkahku
Aku takkan pernah meninggalkan kenangan tentangmu setelah aku maju satu langkah
Dan, aku akan menciptakan duniaku yang penuh akan kenangan tentang dirimu.
Share
Tweet
Pin
Share
No Comments
27 Mei 2011 (09.49)
Masih di RK. Klinik, tapi karena ada pulpen dan buku di hadapanku, jadi tergoda untuk cerita lagi.
Go. . . .
Aku memikirkan sebuah perjalanan, perjalanan untuk menghilangkan galau.
Tapi. . .
Bingung mau kemana, karena itu mari kita buat checklist tempat yang bisa menghilangkan GALAU. . .
Share
Tweet
Pin
Share
No Comments
Sebuah kota kecil yang di kelilingi oleh bukit barisan di setiap sisinya dan menjulang kokoh puncak tertinggi Sumatera di salah satu sudutnya dengan hamparan permadani hijau terbentang di kaki gunung memberikan mata pencaharian bagi penduduk di sekitarnya. Semilir angin sejuk datang dari setiap helai daun yang memberikan kesejukkan hati bagi orang-orang yang menghirupnya. Kicau burung-burung terdengar di pagi hari ketika mereka berombongan terbang di langit yang cerah memberikan ketenangan jiwa bagi siapa yang melihatnya. Air yang jernih dan segar dari puncak tertinggi mengalir dengan riaknya menyusuri setiap lekuk sungai menuruni bukit dan lembah untuk menghilangkan dahaga orang-orang di sekitarnya , banyak orang percaya apabila ada pendatang yang datang berlibur dan meminum seteguk air dari tanah ini maka suatu hari kelak ia akan kembali.
Aku merindukan setiap kenangan masa kecilku , berlari di perkebunan teh yang indah , mandi di sungai yang jernih , atau sekedar mendaki bukit hanya untuk melihat padang hijau yang menyehatkan bagi mataku.
Jauh di seberang selat sunda ingin ku teriakkan pada setiap orang , datang lah ke negeriku!! Datang lah ke kota sakti!! Daki lah puncak tertinggi sumatera dan nikmatilah pemandangan samudera hindia di sana!! Telusurilah setiap sudut hutan hujan tropis yang di huni oleh berbagai jenis satwa langka , satwa yang hanya dapat kau temukan di sumatera!!
Aku sangat merindukan tanah kelahiranku dengan berbagai keindahan dan keajaiban yang di anugrahi oleh tuhan yang maha kuasa , yang mewarnai hidupku selama belasan tahun , dan memberikan kenangan yang terukir indah di otakku hingga akhir hayatku kelak.
KERINCI , kering dan cair seperti yang ku dengar di ceritakan oleh orang-orang terdahulu.
Share
Tweet
Pin
Share
1 Comments
Hari ini aku berangkat kuliah lebih pagi dari biasanya, fenomena yang cukup langka mengingat aku selalu datang ke kelas tepat pada waktu pelaksanaan kuliah atau paling cepat 3-7 menit sebelum kuliah..
Seperti biasa aku selalu mampir di warteg favoriteku (baca: Plasma) untuk melaksanakan rutinitas harian yang namanya "sarapan". Dalam perjalanan dari kost ke warteg ada sebuah tempat sampah kecil, tempat yang biasanya kosong dan hanya dihuni oleh sampah-sampah dan berbagai ektoparasit yang menggunakannya sebagai tempat berkembang biak, hari ini mendapat tambahan penghuni. Seorang wanita muda dengan kaos merah yang mulai kotor sedang mengais tempat sambah itu untuk mencari makanan (menurutku ini adalah fenomena biasa yang terjadi di kota besar dan tentu saja Bogor termasuksalah satu kota besar di Indonesia, walaupun pada kenyataannya Dramaga merupakan daerah pelosok Bogor) dan wanita itu juga mengumpulkan puntung-puntung rokok. "Rokok" tentu saja ini fenomena aneh, bagaimana bisa seorang yang kelaparan dan mengumpulkan makanan dari tempat sampah masih menyempatkan diri untuk mencari potongan-potongan kecil rokok bekas yang dibuang oleh orang ke jalanan. Saat menemukan makanan yang masih baru dan belum banyak dihinggapi ektoparasit wanita itu lebih memilih menghisap potongan-potongan kecil rokok itu dan mengabaikan makanan itu.
And then.....
aku tidak tau bagaimana kelanjutan perjalanan wanita itu, seorang wanita berkaos merah yang mengumpulkan rokok..

Pelajaran moral yang aku dapatkan hari ini....
  • Aku adalah orang beruntung yang masih diberikan tempat berteduh yang nyaman, sandang yang layak, dan pangan yang cukup.
  • Aku masih diberikan kesaran akan pentingnya kesehatan dan bahaya dari benda yang namanya rokok.
  • Aku merupakan orang terpilih yang bangun dipagi hari dan tersenyum atas nikmat kehidupan hari ini dan memulai rutinitas harian yang cukup membuat lelah namun merupakan sebuah jalan yang telah dipilihNya untukku, sebuah jalan yang akan mengubah hidupku di masa yang akan datang.
tapi, ada suatu fenomena terkait kesehatan yang tak bisa mengubah pemikiran dan pemahaman ku tentang nya, "Sayur"
  • Teteh yang di warteg sepertinya telah mengenali kebiasaanku pada makanan yang namanya sayur.
  • Banyak orang yang mengingatkanku akan pentingnya serat untuk kebutuhan hidup, tapi tetap saja aku tidak mau menyentuh jenis makanan berwarna hijau yang mengandung serat.
Aku jadi binggung bagaimana mengakhiri curhatan ga jelas dan ga nyambung ini...
Oleh karena itu aku menarik sebuah kesimpulan atau lebih tepatnya sebuah pertanyaan pada diriku sendiri "Kapan aku mulai memperhatikan kesehatanku dan kapan aku akan memulai konsumsi serat untuk tubuhku?
Share
Tweet
Pin
Share
No Comments
Satu hal yang paling aku sadari dalam kehidupan ini adalah “aku tidak gila”. Namun, semua orang disekelilingku menganggapku menderita kelainan jiwa. Atas alasan inilah aku berada disini, disebuah ruangan yang dicat putih sempurna, tempat tidur besi yang juga dicat putih dengan seprei berwarna putih yang terlihat berantakan. Bau obat-obatan yang menyengat dengan berbagai karakter manusia yang jiwanya terbelah memenuhi seluruh lingkungan tempat tinggalku sekarang.

“Selamat pagi, Andini!” suster yang bertugas merawatku masuk dengan membawa baskom yang berisi air hangat “Bagaimana kabarmu hari ini nak?” Tanya suster itu lagi, aku hanya diam menatap wanita yang tanpa menunggu jawabanku lansung melaksanakan tugas hariannya, membersihkan tubuhku.

***

“Anak ini menderita Scizofrenia.” Jelas seorang wanita dengan steteskop digantungkan dilehernya pada pamanku “Scizofrenia adalah penyakit pada otak yang berakibat pada kondisi kejiwaan seseorang, penyakit ini sangat lazim terjadi terutama pada usia 16-25 tahun. Dari gejala yang dialami oleh keponakan anda seperti tidak dapat mengekspresikan emosi dan kehilangan kemampuan berbicara menurut saya ada baiknya Andini diberikan perawatan medis.” Jelas wanita itu setelah melihat ekspresi binggung paman ketika mendengar istilah kedokteran tadi.

Paman masih diam ditempatnya setelah dokter muda itu berpamitan dan meninggalkan kamarku, sebersit kekecewaan dan ketakutan tak kunjung meninggalkan wajahnya. Paman duduk di pinggiran ranjang tempat dimana aku duduk diam dengan pandangan fokus pada dinding biru dihadapanku, air mata yang selama beberapa menit berusaha untuk tetap ada di sudut matanya tak dapat ditahan lagi, suara tangisanpun lepas dari mulut paman dan dia lansung memelukku “Andin, paman tidak tau lagi apa yang harus paman lakukan, orang tua mu telah pergi meninggalkan kita dan sekarang apa yang terjadi padamu, nak?”

***

“Andini, benarkah itu nama mu?” Tanya dokter baru yang akan merawatku seraya memperhatikan data-data kondisi kejiwaanku selama tiga tahun terakhir.

“Apa kau tau kenapa kau ada disini?” pertanyaan kedua diajukan oleh pria itu tanpa menunggu jawabanku atas pertanyaan pertama, menurutku dia sudah mendapat jawaban atas pertanyaan itu dari file yang ada dihadapannya, file itu juga dilengkapi dengan gambaran wajahku, aku masih ingat foto itu diambil setelah kelulusan SMA, foto yang akan aku gunakan untuk mendaftarkan diri ke perguruan tinggi

“apakah aku terlalu banyak berpikir?” kalimat itu muncul secara tiba-tiba dalam benakku.

“Aku terlalu banyak berpikir dalam beberapa menit terakhir.” Ucapku tiba-tiba, suara itu terdengar aneh di telinggaku, mungkin aku sudah mulai melupakan suara yang selama tiga tahun tak pernah terdengar keluar dari mulutku, suara yang terkadang terdengar samar dalam kepalaku “Apakah itu wajar?” tanyaku kemudian menatap heran pada dokter yang ada dihadapanku.

“Apakah selama ini kau tak pernah berpikir, Andini?” Tanya dokter itu sambil tersenyum “Bagaimana aku harus memanggilmu? Andin? Dini? Atau adakah panggilan yang kau sukai?” candanya sambil tersenyum manis.

“Panggil saja Andin!”

“Baiklah Andin, selama tiga tahun terakhir apa yang kau pikirkan?”

“Kecelakaan itu dan ada satu kalimat yang dapat kupastikan kebenarannya, namun tak dapat aku ucapkan.” Ucapku ragu.

“Kalimat apa?” dokter itu sepertinya sangat penasaran dengan pikiran ku.

“Aku tidak gila!” tegasku.

“Saya mengerti maksud kamu.”

“Saya bukan mau mengelak dan bermaksud kabur, tapi saya tau betul keadaan otak saya, baik alam sadar maupun tidak sadar, saya dapat menegaskan hal itu, dan sekali lagi saya tegaskan bahwa saya tidak gila.” Ucapku bersemangat, ekspresi yang muncul pada wajah dokter muda dan “tampan” itu tak dapat ku artikan, dia tersenyum sekilas dan kembali memperhatikan data kesehatanku.

“Kenapa tidak kamu tidak menegaskan hal itu pada dokter-dokter sebelumnya?” dia menutup file yang berisi data-data ku, lalu menatap kedalam mataku menantikan jawaban atas pertanyaan yang diajukannya.

“Selama ini aku berusaha untuk mengatakan hal itu, tapi pada kenyataannya kalimat itu hanya kuucapkan dalam pikiran saja dan tidak tau kenapa hari ini aku mengucapkan kalimat itu dengan lantang.” Dokter muda itu tersenyum sekilas dan menuliskan sesuatu di berkasku, hasil pemeriksaan hari ini.

***

Angin laut yang berhembus kencang menerbangkan syal yang kulilitkan satu kali di leherku, aku membiarkan benda itu terbang menjauhiku “Laut adalah hal terindah yang pernah aku lihat, aku merasa bebas dan hidupku seolah tanpa beban.” Aku memejamkan mataku dan merentangkan tanganku untuk merasakan betapa menyenangkannya angin laut.

“Angin begitu kencang, kamu akan kedinginan tanpanya.” Seseorang kembali melilitkan syal pada leherku, aku membuka mataku dan berbalik sehingga berhadapan lansung dengan laki-laki yang mengambilkan syalku.

“Dokter?” tanyaku tak percaya ketika mengenali laki-laki itu adalah orang yang telah membebaskanku, dia telah membebaskanku dari penderitaan yang kualami selama bertahun-tahun, penderitaan yang kualami ketika hidup bersama orang-orang yang tak mampu mengendalikan emosinya bahkan tak mampu mengenali dirinya sendiri.

“Bagaimana anda bisa tau aku ada disini?” aku sangat bahagia saat melihat Dr. Andra, seseorang yang paling berjasa dalam mengembalikan masa depanku.

“Paman yang memberitahukannya padaku.” Jawabnya singkat dengan senyum jenaka menghiasi bibirnya “Pasti kau akan bertanya, bagaimana aku bisa mengenal pamanmu?” lanjutnya cepat dan aku hanya mengangguk berharap dia segera menjawab pertanyaan yang diajukannya, pertanyaan yang sangat ingin aku tahu jawabanya.

“Karena aku adalah Andra, Andra kecil yang selalu kau bantu saat aku menangis dikerjai oleh Bima.” Jawabnya pelan namun tegas, jawaban yang diucapkan dengan sepenuh hati, aku tau itu karena matanya mengucapkan hal yang sama, sinar yang terpancarkan oleh matanya secara jelas memancarkan kejujuran dan ketulusan dari sang pemilik.

“Maaf karena aku terlambat membawamu keluar dari penjara itu.” Lanjutnya kemudian dan meraihku dalam pelukannya.

***
Share
Tweet
Pin
Share
No Comments
Percayalah bahwa mengakui kebohongan yang diciptakan untuk diri sendiri itu terasa sangat sulit, terutama ketika aku menyadari bahwa ini bukanlah tempatku, hal ini bukanlah inginku, dan dengan tegas menyatakan bahwa "Aku telah membohongi diriku sendiri."
Dan, saat ini aku percaya dan tak ingin lagi berbohong tentang siapa yang aku cintai…. Dan “Percayalah bahwa aku sungguh mencintaimu! Aku telah jatuh cinta padamu sejak pertama kali kau jabat tanganku dan kau ucapkan namamu.”
Bagaimana mungkin aku meminta orang lain untuk memahami diriku, meminta orang lain untuk mengerti apa yang aku rasakan. Toh pada kenyataanya aku pun tak bisa mengerti akan apa yang aku inginkan, tentang apa yang aku butuhkan, dan apa yang aku harapkan terjadi dalam hidupku.
Huft…. Sungguh ini bukan lah jawaban yang aku inginkan tapi jawaban inilah yang datang dari sudut hatiku. Dan yang tak pernah aku percaya adalah DIA hadir dalam hidupku sejak dulu, semenjak sebelum aku mengenalnya. Mungkinkah pada suatu hari dalam kehidupan lampauku, dia hadir dihadapanku, dia hadir untuk mengenalkan dirinya padaku, namun sosoknya hanya terekam oleh salah satu bagian dari alam bawah sadarku, otak ku dan seluruh saraf penyusunnya telah mampu merekam informasi tentangnya secara utuh, namun mereka menyembunyikan banyak informasi tentangnya.
Dan ketika aku mampu merangkai semua skenario tentangnya, aku sadar bahwa aku tak pernah pantas ada disampingnya, aku bukanlah orang yang tepat untuk mendampingginya karena cahaya yang terpancar dari dalam diriku tak akan pernah mampu menyesuaikan diri dengan cahaya miliknya.
Share
Tweet
Pin
Share
No Comments
Aku tak tau harus berbuat apa
Aku juga tak tau harus berkata apa
Aku seorang diri di tengah heningnya malam
Tanpa ada seorangpun disampingku…

Airmata ini ingin tumpah begitu saja
Tapi, kekuatan otot dan saraf yang mempengaruhinya
Seolah mencegahku untuk menangis

Mereka tak ingin aku menumpahkan airmata seorang diri
Mereka ingin aku tegar dan tetap kuat
Mereka ingin aku menempuh hidupku jauh kedepan

Dan mereka ingin aku tetap menjalani hidupku
Tanpa memikirkan apa yang seharusnya aku pikirkan…

Selamat jalan ibuk…
You’re always in my heart…..

Kudedikasikan untuk nenek tercinta
(01 oktober 1950-07 januari 2010)
Share
Tweet
Pin
Share
No Comments
Aku menatap kagum pada kertas gambar yang terletak manis diatas meja belajarku.

Sketsa wajah itu persis seperti dia, "Bersinar terang seperti bintang dan sulit untuk diraih." ujarku lirih lalu beranjak pergi meninggalkan mejaku.

Sketsa wajah seorang laki-laki yang mulai beranjak dewasa, senyum tipis namun terlihat begitu tegas menghiasi wajahnya, tatapan matanya begitu tajam, dan secercah sinar matahari berpendar di tubuhnya, secercah sinar itulah yang menunjukkan kemilau dirinya.

***



"Aku pernah melihat sketsa ini." ujarnya seraya memandang sketsa wajahnya "Aku pernah memimpikan sketsa ini." lanjutnya, seolah tau apa yang aku pikirkan dari tatapan heran yang aku tujukan padanya.

"Aku baru menggambarnya dua hari yang lalu" jawabku seadanya.

"Dan aku memimpikannya lebih dari dua tahun yang lalu." dia tersenyum padaku ketika aku mengangkat kepalaku agar aku bisa melihat dengan jelas raut wajah itu.

"Bolehkah aku menyimpannya?" dia bertanya dengan meposisikan sketsa itu tepat disamping wajahnya.

Aku mengangguk untuk menyetujui permintaannya, lidahku terasa kelu, dan tak bisa berucap ketika dia menatapku.

"Thanks!" dia menyimpan sketsa itu secara hati-hati diantara diktat kuliahnya dan kembali menyimpannya di ransel lalu pergi meninggalkan aku yang masih terpesona akan senyumannya.

'Dia bahkan tidak mengizinkanku memiliki gambaran dirinya' pikirku dengan tersenyum kecewa 'Bagaimana mungkin aku bisa memiliki dirinya' aku beranjak meninggalkan koridor yang menjadi sepi sejak dia pergi.

Langkahku sangat perlahan, aku memikirkan gambaran dirinya yang seperti apa yang akan aku gambarkan malam ini, satu sketsa lagi yang akan memenuhi buku gambarku. Gambar-gambar yang sama yang telah ku lukis terlebih dahulu dalam hatiku.
Share
Tweet
Pin
Share
1 Comments
04 Juni 2010


“Rain Affair”, dengan kemampuan English yang standar banget saya mengartikan kata itu menjadi “Perkara Hujan”. Sebelum menebak perkara apa sih yang terjadi di kala hujan ada baiknya kita perhatikan covernya dulu….
Secara subjektiv saya suka dengan desain cover yang terlihat manis dan lucu, yang bikin binggung kenapa gambar payung mesti dibikin terbalik??? Yang namanya hujan kan mesti pake payung tuh, biar nggak basah. Trus ada bayangan payung lagi yang nunjukkin kalau payung tadi jatuh di genangan air.
Noah, Lea, dan Nathan??? Ceritanya nih Noah sama Lea menjalin hubungan atas nama cinta, singkatnya sih Pacaran!!, di sinopsis di certain kalo Noah mengukir kebohongan-kebohongan kecil pada setiap sisi hati Lea, menurut saya dalam menjalin hubungan sama Lea, Noah sering bohong, walaupun kebohongan yang dibuat Noah merupakan perkara-perkara kecil yang masih bisa dimaafkan. Tapi, bukan Cuma sekali Noah bohong sehingga Lea jadi curiga tentang kesungguhan cinta Noah. Lea berusaha untuk mencari tau perasaan Noah, tapi Noah malah membuat jarak diantara mereka dan menyembunyikan setiap kebohongan yang dia buat selama ini.
Yah….. musti buka kamus lagi buat tau apa yang dilakukan Lea selanjutnya…
Setelah tau kalau Noah bohong, Lea berusaha mencari tau kesalahan apa yang telah dia perbuat sama Noah dan Lea juga sempat mikir mungkin hubungan mereka adalah sebuah kesalahan, tapi akhirnya Lea malah ikutan Noah pake acara bohong segala, makin ribet aja nih masalahnya.
Ada satu tokoh lagi, namanya Nathan . sebagai orang luar Nathan nggak bisa ikut campur sama masalah yang terjadi antara Lea sama Noah, tapi cowok satu ini kayaknya naksir berat sama Lea. Nathan berusaha untuk membuat Lea yang masih jadi pacar Noah untuk melihat keberadaan Nathan dan menerima cinta Nathan. Nah, kan si Lea tadi udah capek nyari tau kesalahan dia sama Noah dan dia jadi ikut-ikutan bohong, menurut saya Lea akhirnya melihat keberadaan Nathan yang cinta sama dia dan lebih memperhatikannya dibandingkan Noah, So mereka pacaran deh dengan status Lea yang masih menjadi pacar Noah.
Namanya juga selingkuh pasti nggak bisa ngejalanin hubungan secara normal, mesti sembunyi-sembunyi biar nggak dicurigai, jadi hubungan Nathan sama Lea nggak bisa berjalan dengan tenang, mereka selalu dihantui perasaan bersalah sama Noah.
Akhirnya, mereka harus dihadapkan pada kenyataan dan harus mengambil keputusan agar kebohongan yang selama ini udah numpuk nggak menjadi hambatan yang membuat hidup mereka menjadi lebih rumit.
Karena judulnya Raiin Affair dan kembali ke masalah cover yang ada gambar payung, saya berasumsi bahwa semua kebohongan yang terjadi antara Noah dan Lea, juga Nathan yang menjadi pacar ke-dua Lea terbongkar di saat hujan. Lea yang menjadi satu-satunya cewek disini mesti milih antara Nathan sama Noah, pilihan yang berat bagi Lea. Nathan yang perhatian sama dia atau Noah yang dia cintai (menurut saya sih Lea cintanya sama Noah, makanya dia selingkuh sama Nathan biar Noah yang selama ini sering bohong jadi lebih perhatian lagi.)
Karena kedua pilihan inilah saya berpikir kalau gambar payung di cover menggambarkan perasaan Lea, ada payung dan bayangan payung dan Lea tidak diizinkan untuk memilih ke-duanya, mesti pilih salah satu Noah atau Nathan??????
Sebagai calon pembaca nih, saya pengennya Lea sama siapa ya????
Kayaknya kalau saya jadi Lea, saya akan memilih Noah dan memintanya untuk menjelaskan semua kebohongan yang telah dia buat selama ini, toh Lea juga cinta sama Noah dari pada Nathan mesti sakit hati karena cuma jadi pelarian bagi Lea yang merasa dibohonggi sama Noah. (Saya pilih Noah karena di sinopsis nggak ada petunjuk yang menyatakan bahwa Noah juga punya selingkuhan, tapi kalau nyatanya Noah punya selingkuhan mending sama Nathan yang jelas-jelas perhatian dan cinta banget sama Lea).
Sepertinya Cuma ini yang bisa saya tebak, abisnya nggak ada ide lagi. Tapi, sebagai orang yang berada di luar garis saya dapat menerima apapun pilihan Lea, Noah, dan Nathan….
Sekian dan Terima kasih!!!!!!!
Share
Tweet
Pin
Share
No Comments
“Berpikirlah secara jernih, Jen!” nasehat tante Rossa terngiang di telingaku sepanjang perjalanan ke kontrakan Reno.
Aku harus menanyakan semua hal yang menimpa Jaime pada Reno dan Zlatan, jari telunjukku bergerak untuk memencet tombol bel di depan pintu namun ku urungkan niatku ketika mendengar namaku di sebut-sebut sebagai topik utama pembicaraan orang yang berada di balik pintu ini, Reno dan Zlatan.
“Kita akan bersaing secara sehat.” ujar Reno memutuskan “Gue nggak mau persahabatan kita hancur hanya karena masalah ini.” lanjutnya bijaksana.
Aku menggeser perlahan pintu yang setengah terbuka itu dan memasuki ruangan itu tanpa menimbulkan suara yang dapat memecahkan kesunyian antara Reno dan Zlatan. Zlatan tampak mempertimbangkan usulan Reno dan beberapa saat kemudian dia angkat bicara “Gue setuju, Jenny sendiri yang akan memilih.” ujarnya tanpa mengalihkan pandanganya “Gue atau Loe?” tegasnya kemudian.
Aku tersenyum kecil saat memperhatikan pembicaraan antara dua sahabat ini, dua orang yang tak akan terpisahkan karena telah terikat oleh benang abstrak persaudaraan akibat kegelapan masa lalu. Zlatan dengan keberanianya mampu mengajak Reno untuk melangkah ke depan dan dengan ketulusan hatinya Reno mampu melunakkan hati Zlatan.
Tante Rossa benar dengan berpikir jernih aku mampu menyikapi masalah ini dengan baik, aku memperhatikan dua sosok itu lebih teliti ‘Siapa yang akan ku pilih jika mereka berdua memaksaku untuk memilih?’ sebelum aku menemukan jawaban atas pertanyaan itu, mataku terhenti pada satu titik dan seluruh anggota tubuhku menghianati keinginanku dan bergerak semakin dekat dengan titik itu, aku tak kuasa menahan haru, kedua tanganku memeluk erat tubuh itu, dan air mataku mengalir membasahi kemeja yang di kenakanya, indra pendengaranku masih berfungsi dengan benar ketika langkah kaki pelan semakin menjauh sebelum aku mampu berucap.
“Jaime!” bisikku lirih, tubuh itu menegang dalam pelukanku dan dengan kedua tanganya, ia melepaskan kedua lenganku dan berbalik ke arahku.
“Gue marah sama loe kak.” ujar Jaime cemberut, masih seperti empat belas tahun yang lalu namun raut kecewa itu tidak terlihat di wajah adikku yang berusia enam tahun, raut wajah itu tergambar dengan jelas di wajah Zlatan.
Aku melotinya tidak percaya “Kenapa tante Rossa yang lebih dulu mengenali gue? Kenapa bukan loe, kak?” protesnya lagi.
“Karena gue benci loe, Jaime.” sekarang giliran mata ini yang menghianatiku “Kenapa nggak loe katakan dari dulu, gue capek karena terus nyari loe, gue hampir putus asa ketika mendengar Jaime telah mati.” lanjutku dengan cepat dan kembali memeluk adiku.
“Pacar loe nggak pernah cerita tentang riwayat kesehatan gue?” candanya sambil membelai rambutku “Gue gak ingat semuanya.” lanjutnya kaku lalu melepaskanku “Gue jadi ingat semuanya ketika loe menemani gue sore itu.” aku tidak memerlukan penjelasan atas semua ini, pertanyaan yang tadi sempat ku tanyakan pada diriku sendiri telah menemukan jawabanya, bahkan sebelum aku melihat bercak hitam di balik leher Zlatan.
“Reno?” mataku berpendar menggelilinggi ruangan ini untuk menemukanya.
“Berhasil!” teriak Zlatan penuh kemenangan, aku melototinya meminta penjelasan, dan dia hanya tersenyum dari sudut bibirnya.
“Kalau pacaran sama temen adiknya, loe gak rugi sist.” canda Jaime, menghilangkan kesunyian dalam perjalanan mencari Reno “Gue pasti tau, Reno akan pergi kemana ketika suasana hatinya lagi kacau.” lanjut Zlatan.
‘Aku binggung harus memanggilnya Zlatan atau Jaime?’ aku tersenyum mengingat pertanyaan itu.
“Setelah urusan gue dan Reno selesai, tunggu kami di rumah.” perintahku pada mereka -Jaime dan Zlatan- yang hidup pada satu tubuh, ketika dia mengantarkanku tepat di depan panti asuhan tempatnya dibesarkan.
“Itu dia pacar loe, kak!” Dia menunjuk ke arah Reno di kursi taman menatap kosong pada anak-anak yang sedang bermain “Gue pergi dulu deh.” ujarnya berjalan menjauh dariku “Cepetan ya! Ntar gue bosan nungguin kalian.” lanjutnya setengah berteriak .
“Boleh aku duduk?” tanyaku padanya, Reno mengalihkan pandanganya padaku lalu mengangguk.
“Masa anak-anak begitu menyenangkan, nggak ada beban yang harus di tanggung oleh punggung kecil itu.” aku angkat bicara karena Reno sepertinya tidak ingin bicara.
“Nggak semua anak-anak dapat merasakan hal itu, sebagian dari mereka harus menanggung beban hidup yang berat.” jawabnya singkat.
“Maaf. .”
“Nggak perlu, Zlatan itu sahabatku dan aku sangat menghargai apapun pilihanmu.” sela Reno, aku memandangnya penuh tanda tanya “Aku tidak akan marah atas pilihanmu, Jen.” lanjutnya menjawab keherananku tadi.
Aku tertawa cukup keras sehingga menarik perhatian anak-anak yang sedang bermain “Maaf, karena aku telah membebani hidupmu selama ini dengan menjaga adikku.” ucapku dengan jelas.
“Apa maksud mu, Jen?”
“Zlatan adalah Jaime.” Reno memandangku tak percaya, dia menggeleng perlahan lalu tersenyum penuh arti ketika aku menyandarkan kepalaku di bahunya.
“Kenapa aku tidak pernah memikirkan hal ini, aku tau kalau Zlatan tidak ingat siapa dirinya tapi aku tidak pernah menghubungkan semua kenyataan ini.” kalimat itu di ucapkan dengan sangat cepat oleh Reno, dari cara dia mengucapkanya terlihat jelas bahwa dia begitu bahagia atas semua kenyataan ini.
“Dia mengerjai kita, Ren.” aku mengangkat kepalaku dan memandang Reno.
“Dia sudah ingat siapa dirinya ketika kamu menemukan lukisan itu, ketika aku keluar mencarimu dia melukis gambar mama dan papa di halaman paling belakang buku itu, lalu ketika melihat kemarahanmu dia merahasiakan hal itu, dan kemarin dia begitu bersemangat karena ingin tau siapa yang menipuku dengan datang sebagai Jaime palsu.” jelasku pada Reno yang masih di hinggapi rasa heran.
“Bagaimana kamu tau kalau dia adalah Jaime?”
“Tante Rossa sudah mengetahui hal itu ketika Zlatan berdiri di samping Alan dan mereka telah membicarakan hal ini lalu tante Rossa memintaku untuk menemui kalian, dan aku baru hari ini memperhatikanya secara detail dengan bercak hitam di tengkuknya tanpa tes DNA pun aku sudah tau siapa dia sebenarnya?” tanpa ku sadari kami telah bicara sangat lama dan awan-awan kelabu pun telah menggantikan awan-awan seputih kapas di langit, dalam seketika hujan turun dengan sangat deras.
“Kita harus segera pulang, Jen!” ajak Reno bersamaan dengan suara petir yang mulai mengelegar.
Zlatan menggigil kedinginan memeluk gulingnya, dia sangat ketakutan, satu hal yang tak pernah berubah darinya adalah phobianya terhadap petir. Aku bergerak cepat ke sisinya dan menarik adikku dalam pelukanku.
“Gue takut kak!” kalimat itu diucapkanya dengan terbata-bata.
“Nggak apa-apa gue ada disini.” Jaime tidak berpindah dari posisinya, dia tetap meringkuk dibawah lenganku.
“Ren, loe ceburu karena gue di peluk cewek loe atau karena gue di peluk kakak gue?” tanya Zlatan tiba-tiba pada Reno yang tak beranjak dari posisinya “Harusnya loe senang brother, karena loe gak akan kehilangan gue atau Jenny.” lanjutnya tersenyum lalu mengulurkan kedua tangannya pada Reno, meminta Reno untuk bergabung.
“Ren, maaf karena gue udah ngerepotin loe selama ini.” Zlatan kembali membuka pembicaraan.
“Tan, harusnya gue yang terima kasih karena loe udah bawa gue pergi dari tempat itu, kalau bukan karena loe gue gak berani pergi.” jawab Reno tanpa dapat mencegah air mata mengalir di pipinya.
“What happen, boy?” candaku, nada bicaraku sangat kontras dengan suasana haru yang terjadi antara Reno dan Zlatan.
“Loe diam aja deh kak! Gue cuma mau ngomong sama dia.” bentak Zlatan sambil tersenyum untuk menunjukkan bentakan itu hanya fiktif.
“Apa gue boleh memohon satu hal lagi sama loe?” pinta Zlatan kembali serius.
“Of course!” jawab Reno tertawa, sepertinya Reno merasakan ketidaknyamanan seperti yang ku rasakan atas sikap Zlatan yang sangat formal.
Aku dapat merasakan suhu tubuh Zlatan semakin meninggi dari sentuhan kulitnya “Tolong jaga kakak gue karena gue gak pernah bisa menjadi adik laki-laki seperti yang dia harapkan.” jelas Zlatan menatap tajam ke dalam mata Reno.
“Jaime?” suaraku terdengar sangat lirih dalam telingaku.
“Happy birthday, kak!” suara Zlatan semakin lirih “Gue gak mau liat loe nangis, jangan nangis lagi ya!” pintanya sambil menghapus air mata ku dengan jempolnya.
“Senyum dong!” perintahnya “Gue mau tidur dulu ya!” lanjutnya setelah aku tersenyum dengan senyum yang dipaksakan, ku belai rambutnya dan ku nyanyikan lagu nina bobo yang biasa ku nyanyikan ketika kami menunggu mama dan papa pulang ke rumah.
“Ren, apa yang sebenarnya terjadi?” tanyaku pada Reno tanpa melepaskan pandanganku dari Jaime yang tertidur di pangkuanku, napasnya teratur dan berirama.
“Benturan di kepalanya tidak lebih baik di bandingkan anak itu, tapi dia lebih kuat hingga dapat bertemu denganmu hari ini.” jelas Reno ikut memandanggi wajah Jaime yang menjadi lebih tenang, tempo pada irama nafasnya semakin lambat, dan tubuhnya berubah menjadi semakin dingin.
“Jangan menangis, Jen!” perintah Reno terisak ketika irama nafas itu terhenti “Dia sangat kuat untuk bertahan sampai hari ini, dia begitu gigih dalam mengembalikan ingatanya dan menemukanmu.” lanjut Reno berusaha menenangkanku.
Aku memandanggi wajah itu, aku tidak menangis bahkan aku juga tidak terisak, aku telah memenuhi permintaanya untuk tidak mengeluarkan air mata.
“Aku bangga padamu, Jaime!” ucapku lirih “Aku tak akan menyalahkan takdir yang tidak memberiku lebih banyak waktu untuk bersamamu karena takdir juga yang telah memberimu kekuatan untuk datang padaku hari ini, takdir juga memberiku kesempatan untuk berada di sampingmu hingga hembusan nafas terakhirmu, Zlatan.” lanjutku tersenyum di balik kepedihan yang ku rasakan.
***
Seminggu telah berlalu sejak kepergian Zlatan, hari yang sama dengan kepergian Jaime adikku.
“Aku menemukan ini.” Reno menyerahkan sebuah kotak berukuran satu setengah meter persegi padaku “Kado ulang tahun darinya.” lanjut Reno berusaha tersenyum.
Aku merobek kertas yang membungkus kotak itu dan menemukan sebuah kanvas yang telah di lukis dengan cat minyak, aku berdiri di sebelah kanan Reno dan Zlatan ada di sebelah kiriku semakin menjauh, lukisan ini terlihat hidup “Dia sangat berbakat.” hanya itu yang dapat ku katakan dan Reno mengangguk menyetujui pendapatku.
Share
Tweet
Pin
Share
No Comments
Beberapa menit lagi Jaime akan bergabung bersama kami, bersama aku, Reno, Zlatan dan tante Rossa. Jaime akan hadir kembali dalam hidupku, perasaan bahagia yang ku rasakan hari ini membuatku tak dapat berpikir dengan benar, aku pun dengan mudah mengabaikan kecanggungan yang terjadi antara Reno dan Zlatan setelah peristiwa kemarin.
“Masih lama Jen?” tanya Reno tak sabaran.
“Ntar lagi.” jawabku sambil melihat jam tangan.
“Sepertinya itu mereka!” ujarku setelah melihat dua laki-laki bertubuh atletis memasuki restoran, mereka menuju meja informasi dan petugas informasi mengantarkan mereka ke meja kami.
Reno memperhatikan kedua orang itu penuh rasa ingin tau “Bary!” ucapnya lirih dengan raut wajah penuh kebencian, aku belum pernah melihat Reno dikuasai amarah dan Zlatan yang sejak awal hanya acuh tak acuh menjadi terfokus pada dua laki-laki yang semakin dekat dengan meja kami.
“Kenalkan saya Bary dan ini Jaime adik anda.” pria bernama Bary itu memperkenalkan dirinya dan Jaime adikku sebelum aku sempat meminta mereka untuk duduk.
“Saya Jenny.” demi kesopanan aku berdiri untuk memperkenalkan diriku lalu berjabat tangan dengan Bary dan Jaime, adikku “Kenalkan ini Tante Rosa, Reno, dan Zlatan.”lanjutku memperkenalkan mereka.
“Aku tidak pernah berharap akan bertemu lagi denganmu Bary.” ujar Reno sinis “Dan kau juga Alan.” lanjutnya kemudian.
“Apa maksud semua ini, Ren?” aku meminta penjelasan Reno atas pernyataanya.
“Jawabanya sudah di depan mata Jenny.” Zlatan berjalan ke arah Bary lalu mendekat ke arah Jaime “Dia bukan Jaime!” tegasnya setelah berdiri tepat di sebelah Jaime.
Bary dan Alan hanya diam, aku tidak dapat membaca perubahan raut wajah kedua laki-laki itu setelah menyadari kehadiran Reno dan Zlatan, mereka berdiri mematung tak beranjak dari posisinya.
“Baik lah!” Reno angkat bicara setelah suasana menjadi sunyi dalam waktu yang lama “Bary adalah orang yang telah menculik aku dan Zlatan, serta dua bocah laki-laki lainya malam itu. Satu diantara anak laki-laki itu adalah anak tukang kebun di rumah ku dan yang satunya lagi meninggal dunia karena benturan di kepala yang begitu kuat.” mata Reno menerawang jauh ke masa lalunya yang kelam, sebuah kisah sebelum ia dan Zlatan tinggal di panti asuhan, sebuah kisah yang enggan di ceritakanya padaku.
“Reno?” ucapku lirih “Apa maksud semua ini? Aku binggung.” lanjutku menatap ke empat pria di hadapanku secara bergantian.
“Anak tukang kebun di rumah ku adalah Dia.” kata Reno penuh amarah dan mengarahkan jari telunjuknya ke arah Alan, orang yang mengaku sebagai adikku.
“Tuan Bary!” Zlatan kini berjalan pelan ke arahnya “Jadi apa yang anda harapkan dari Jaime palsu ini?”
“Aku tidak berharap apapun, aku hanya ingin membantu Jeny.” akhirnya Bary berbicara, atau tepatnya beralasan.
“Aku rasa, anda tidak mungkin lupa dia adalah Alan?” balas Reno.
“Aku hanya merasa bersalah atas kematian Jaime, jadi menurutku tak ada salahnya jika Jeny memiliki adik yang dia anggap adalah Jaime.” Bary mengucapkan setiap kalimat itu dengan sangat cepat, kakiku tak sanggup lagi menopang berat tubuhku. Bagaimana bisa hari yang seharusnya menjadi hari perjumpaanku dengan adikku berubah menjadi hari yang begitu kelam dalam hidupku “Nggak mungkin.” hanya kata itu yang dapat ku ucapkan.
Aku menopangkan kepalaku di bahu Reno yang telah berada di dekatku, suara Zlatan terdengar samar oleh ku “Tentu saja itu salah tuan, karena jika anda ingin membantunya tak seharusnya anda menculik Jaime.” tante Rossa yang tadinya ada di sampingku beranjak dari sisi ku dan menenangkan Zlatan yang dikuasai amarah.
“Sebaiknya anda pergi, saya rasa anda tidak ingin kami memperkarakan semua ini ke pengadilan bukan?”
“Tante!” protes Zlatan.
“Sudahlah Zlatan, masih banyak hal lain yang harus kita selesaikan.” ujar tante Rossa menenangkan Zlatan dan mengisyaratkan kedua penipu itu untuk pergi.
“Apa rencana tante selanjutnya?” tanya Zlatan setelah kedua orang itu menjauh.
“Tante ingin bicara dengan kalian berdua.” jawab tante Rossa tenang namun mengejutkan bagi Zlatan dan Reno “Sebaiknya kita pulang dulu, Jen kelihatanya sangat kelelahan hari ini.”
***
Kepalaku terasa begitu berat dan pandangan ku begitu gelap, aku ingin keluar dari kegelapan ini tapi aku tidak dapat bergerak untuk mencari jalan keluar dari kegelapan ini. setelah sekian lama berusaha, belaian lembut mulai dapat dirasakan oleh tanganku dan samar-samar terdengar seseorang memanggil namaku, aku berusaha untuk membuka mataku dan secercah cahaya sedikit demi sedikit masuk ke mataku.
“Ren!”
“Iya, Jen.” Jawabnya lembut dan menatap lansung ke mataku.
“Apa yang sebenarnya terjadi, Ren?” aku berusaha untuk duduk namun di cegah oleh Reno “Apa benar Jaime sudah meninggal?” tanyaku.
“Reno, tolong jawab aku!” Reno tidak menanggapi pertanyaanku, dia seolah merasa bersalah atas kematian Jaime, dan aku terus mendesaknya untuk menperoleh jawaban atas pertanyaanku selama empat belas tahun terakhir.
“Kenapa kamu nggak pernah cerita ke aku, Reno.” diamnya Reno ku anggap sebagai jawaban ‘iya’ atas pertanyaan ku, aku terisak dan Reno menarikku ke dalam pelukannya.
“Maaf, Jen!” ucapnya lirih dan dapat kurasakan air matanya menetes ke rambutku “Malam itu aku sangat kebingungan dan aku juga tidak tau bagaimana cara menyelamatkan anak itu.” ujar Reno terbata-bata “Maaf karena aku tidak bisa melakukan yang terbaik untuk Jaime.”
Penjelasan Reno sedikitpun tidak membuatku lebih tenang, tangisanku semakin histeris setelah mengetahui semuanya “Jaime.” bisikku lirih.
“Benturan di kepalanya sangat keras dan dia sangat kesakitan malam itu.” ujar Reno kembali menceritakan kejadian malam itu.
“Kenapa nggak cerita dari dulu, Ren!” protesku
“Karena kami tidak pernah mengenal anak itu, dia telah meninggal sebelum menjelaskan semua yang telah menimpa dirinya.” jawab Reno lalu menatap ke dalam mataku.
“Ren, sebaiknya kamu pulang dulu” Tante Rossa masuk ke kamarku lalu duduk di salah satu sisi tempat tidurku “Biarkan Jeny menenangkan pikirannya dulu.”
“Baiklah tante.” jawab Reno lalu beranjak dari duduknya “Aku pulang dulu ya Jen.” pamitnya padaku.
“Tenang lah Jen, semua akan baik-baik saja.” ujar tante Rossa setelah Reno pergi, tante Rossa berusaha untuk membuatku tenang.
“Tapi, Jaime sudah pergi tante.”
“Semua akan baik-baik saja, jadi pejamkanlah mata mu untuk malam ini.” nasehat tante Rossa atau lebih tepatnya memerintahkan ku untuk tidur.
Tante Rossa bernyanyi kecil sambil mengelus rambutku dan dalam sekejap aku pun masuk ke alam mimpi.
Share
Tweet
Pin
Share
No Comments
“Reno!” teriakku dari balik pintu rumah kontrakanya “Aku sudah menemukan Jaime.” ujarku cepat ketika seseorang membukakan pintu.
“Reno sedang keluar, masuk aja di luar dingin banget.” jawab Zlatan acuh dan membiarkan daun pintu terbuka lebar.
Aku mengikuti Zlatan masuk ke ruangan seluas dua belas meter persegi itu, tampak sebuah sofa empuk dan TV 21 inchi di hadapanya, dua pintu yang saling berhadapan yang kupastikan masing-masing merupakan kamar tidur Reno dan Zlatan.
Zlatan kembali dengan dua cangkir di tanganya.
“Duduklah Jen!” perintahnya “Reno akan bunuh gue kalau melihat gue memperlakukan tamu istimewanya dengan tidak sopan.” lanjutnya tersenyum sambil memberikan sebuah cangkir berisi teh hangat padaku.
“Thank’s!” ujarku pelan lalu duduk di samping Zlatan yang sibuk mengganti chanel TV.
“Siapa Jaime?” tanya Zlatan kemudian.
“Adik gue.” jawabku enggan lalu meminum sedikit teh dari cangkir tadi.
“Apa yang terjadi sama adik loe?” pertanyaan baru itu keluar dari bibir Zlatan dan aku memandangnya tak percaya “Maaf, gue nggak bermaksud ikut campur.” lanjutnya setelah mempelajari ekspresi yang dimunculkan oleh wajahku.
“Nggak apa-apa kok, lagian loe teman baik Reno.” setelah berpikir sejenak, aku memutuskan untuk menceritakan tentang Jaime padanya.
Zlatan mendengarkan ceritaku dengan seksama, suara yang datang dari televisi dan gemuruh hujan dari luar ruangan ini tidak dapat menghalanggi setiap kalimat yang ku ceritakan pada Zlatan.
Kilatan cahaya yang berasal dari langit bergerak cepat melewati jendela kaca, Zlatan sangat ketakutan ketika gemuruh suara petir terdengar, aku mematikan televisi lalu Zlatan bergerak cepat ke arahku, tanpa aba-aba lenganku memeluk tubuh Zlatan yang mengigil karena ketakutan, aku hanya ingin melindunggi sosok dalam dekapanku.
Selama beberapa menit suasana di ruangan ini begitu sunyi, hanya suara rintik hujan yang terdengar dan “Prak!” pintu utama rumah ini dibanting, seketika Reno menghilang dari pandanganku. Aku melepaskan dekapanku dari tubuh Zlatan yang masih mengigil lalu berlari cepat mengejar Reno.
“Reno.” ujarku lirih setelah berhasil mengejarnya.
“Maaf!” akhirnya aku mampu bersuara “Aku nggak bermaksud untuk. . .”
“Sst. . .” Reno menyentuh bahuku dan memintaku untuk memandangnya “Aku udah tau hal ini akan terjadi.” lanjut Reno dengan mata yang menatap tajam ke arahku.
“Tapi Ren. . .” sekali lagi Reno meletakkan telunjuknya di bibirku, memintaku untuk diam dan mendengarkanya.
“Harusnya aku berterima kasih sama kamu, Zlatan tidak bisa di tinggalkan sendiri dalam cuaca seperti ini.” ujarnya lembut dan aku hanya dapat memandangnya penuh tanda tanya.
“Tadinya aku pulang untuk menemani Zlatan, tapi saat aku masuk dan melihatmu memeluknya pikiranku jadi kacau, aku pun lupa Zlatan akan lebih buruk jika dia sendiri.” jelas Reno dengan tersenyum.
“Jadi ada keperluan apa mencariku ke rumah?” tanya Reno memecahkan lamunanku.
“Aku menemukan Jaime.” aku tak dapat menyembunyikan perasaan bahagia yang ku rasakan di hadapan Reno, Reno yang telah mengubah pandanganku tentang hidup dan Reno yang selalu membuatku merasa dilindunggi.
“Jaime pasti akan bahagia memiliki kakak seperti mu, Jen.” bisik Reno di telingaku.
“Zlatan?” aku melepaskan pelukan Reno ketika teringat pada Zlatan yang kutinggalkan sendiri.
Wajah Reno menggambarkan kekhawatiranya, dia menggenggam tanganku dan mengajaku berlari cepat melawan derasnya hujan untuk kembali ke rumah kontrakanya.
“Tan?” Reno berjalan cepat ke arah kamar Zlatan dan mengintip melalui celah pintu yang tidak di tutup “Dia sudah tidur.” Reno memberitahuku lalu masuk ke kamarnya.
“Pake baju ini aja, Jen! Ntar masuk angin kalau pake baju basah.” Reno menyerahkan satu stel pakaian miliknya padaku dan mengisyaratkan aku untuk mengganti pakaianku di kamar mandi.
Aku menganti pakaianku dengan cepat, pakaian basah ini membuat tubuhku mengigil.
“Tan kenapa loe gak pernah jujur sama gue!” teriak Reno dari arah kamar Zlatan.
“Kenapa Tan?” pinta Reno dengan suara yang lebih lirih dan Zlatan masih diam menahan emosinya.
“Loe gak usah bohongi gue lagi Tan!” Reno mengucapkan kalimat itu lebih lirih lagi “Semua ini udah nunjukin siapa loe.” emosi kembali menguasai Reno.
“Jawab Zlatan!” perintah Reno sedangkan Zlatan hanya diam.
Reno melempar buku gambar yang dipegangnya dan buku itu jatuh tepat di ujung kakiku.
“Harusnya gue nggak boleh percaya loe!” ujar Reno lagi.
Aku mengambil buku gambar itu dan di halaman pertama buku itu wajahku di lukis dengan goresan-goresan pensil yang halus, halaman kedua, ketiga, keempat, dan seterusnya wajahku kembali menghiasi buku itu.
“Jenny!” panggil Zlatan yang dari tadi hanya diam, Kecemasan menghiasi wajahnya ketika melihatku berdiri tegak di dekat pintu kamarnya sambil membolak-balik setiap halaman yang melukiskan wajahku.
“Gue nggak pernah membayangkan hal ini akan terjadi, tapi mulai sekarang jangan sebut gue sahabat loe.” tegas Reno penuh amarah dan menarikku keluar setelah melempar buku gambar itu ke arah Zlatan.

“Zlatan juga menyukaimu, Jen!” kata Reno ketika dia mengantarku pulang.
“Ren, hanya ada kamu di hatiku dan kamu tau itu.” ujarku tersenyum dan menatap ke dalam matanya untuk menegaskan ucapanku, agar Reno menemukan kejujuran yang kuucapkan “Berbaikanlah dengan Zlatan dan besok kita bertiga akan menjemput Jaime.” lanjutku tersenyum dan masuk ke rumahku.
“Ingat! Datanglah bersama Zlatan.” ulangku lagi.

Share
Tweet
Pin
Share
No Comments
“Pagi, Jenny!” Reno datang menghampiriku bersama seorang cowok dan mereka berdua duduk di kursi yang ada di hadapanku.
“Ci ileh! Udah nggak manggil kakak lagi ya?” Ledek cowok yang datang bersama Reno sambil meninju bahu Reno.
“Kenalin ini Zlatan, sahabatku.” ujar Reno mengenalkan cowok itu padaku.
“Zlatan.” dia menyebutkan namanya dan mengulurkan tangannya padaku.
“Jenny.” aku menyambut uluran tangan itu dan kembali melahap sarapanku.
“Zlatan ini sahabat aku sejak kecil.” jelas Reno setelah dia kembali dan membawa sarapan untuk dirinya dan Zlatan.
“Reno udah banyak bantu gue, saat semua orang di panti musuhin gue cuma Reno yang mau jadi teman gue, jadi loe nggak salah milih dia.” Zlatan melanjutkan penjelasan Reno setelah berterima kasih karena telah membawakan makanan untuknya “Gue gak usah panggil kakak ya! Toh Reno juga panggil nama loe.” lanjutnya kemudian.
“Terserah loe aja.” jawabku sambil membersihkan kedua tanganku yang berminyak.
“Gue jalan dulu ya!” pamit Zlatan.
“Sarapanya gak di habisin, Tan?” tanya Reno ketika Zlatan berdiri dari duduknya.
“Gue udah hampir telat.” jawabnya singkat “Jalan dulu ya, Je” Zlatan mengedipkan sebelah matanya padaku sebelum pergi meninggalkan kantin.
“Pasti deh kamu nggak suka dia.” tebak Reno tanpa melepaskan pandanganya dari Zlatan yang kian menjauh.
“Kenapa kamu bisa nebak semua yang aku pikirin?” keluhku.
“Karena kamu nggak beda jauh sama dia, aku udah menghabiskan seluruh hidupku bersama Zlatan dan selama itu nggak ada yang bisa dia rahasiakan dari aku.”jelas Reno sedikit tersenyum.
“Trus apa hubunganya sama aku?” balasku ketus.
“Jangan cemberut gitu sayang! Keliatan jelek tau.” goda Reno “Aku udah kenal Zlatan dari kecil dan gak aneh kalau aku bisa nebak apa yang dia pikirin, kalau kamu. . .” lanjutnya.
“Aku kenapa?” aku berpindah untuk duduk disampingnya dan menatap matanya.
“Aku bisa nebak apa yang kamu pikirin, karena aku cinta sama kamu.” jawabnya singkat dan aku hanya bengong “Jalan yu! Ntar telat, lho.” Reno menarik lenganku dan kami berjalan beriringan ke kelas.
“Boleh nanya gak?”
“Apa?”
“Apa yang kamu suka dari aku?”
“Kalau kamu, apa yang kamu suka dari aku?”
“Kok malah balik nanya.”
“Jawab aja!”
“Mungkin karena kamu ngasih aku coklat.”
“Simpel banget, nggak ada alasan yang lebih spektakuler.”
“Kayaknya nggak deh. Just it dear!”
“Sama, nggak perlu alasan buat aku jatuh cinta sama kamu.”
“Trus, apa maksudnya kamu belajar mati-matian biar bisa nyamain sks aku” sindirku, sedikit tersenyum pada Reno yang salah tingkah.
“Kalau nggak bisa nyainggi kamu, taruhan kalau kamu nggak akan pernah ngelirik aku yang udah jatuh cinta sama kamu sejak pertama kali kita ketemu.”
“Pertama kali ketemu kamu awal semester ini kan?”
“Kamu aja yang nggak peka lingkungan, aku udah ngelirik kamu sejak pertama kali aku masuk kampus ini dan setiap aku nyari perhatian kamu, aku di cuekin. Dasar bebek!”
“Apa hubungannya sama bebek?” protesku “Aku mencurahkan seluruh perhatianku buat belajar agar bisa melanjutkan perusahaan papaku dan aku juga harus menemukan adikku.” aku tidak dapat menyembunyikan airmata yang muncul di sudut mataku.
“Kita bahas ntar aja ya!” ujar Reno sambil menghapus air mataku. “Sekarang belajar dulu, kan kamu nggak mau kalah saing sama aku.” Reno tersenyum usil saat aku meliriknya.
“Gitu dong! Tau gak, yang bikin aku suka kamu itu senyum kamu lho.” lanjut Reno ketika melihat aku tersenyum.
“Reno dan Jenny silahkan keluar! Saya lihat kalian tidak memerlukan kuliah dari saya lagi.” teguran pak Sugandi membuatku kaget, kenapa aku harus bermasalah dengan dosen yang berkepala seperti kincir angin ini lagi, nggak bisa jawab pertanyaan yang sudah pasti bisa di jawab oleh anak SMP dan sekarang di usir dari kelas.
“Makasih ya pak!” ujar Reno memecahkan lamunanku dan dengan cekatan membereskan buku-buku yang ada di meja lalu menarikku keluar dari ruangan ini dan Pak Sugandi dengan tatapan heran menyaksikan hal ini tanpa dapat mencegahnya.
“Reno! Kenapa kita keluar? Aku masih mau belajar.” aku melepaskan tangan Reno dan berlari kembali ke kelas, namun Reno lebih cepat dariku.
“Jen, lihat dari sisi positif aja! Kamu nggak konsentrasi belajar.” ujar Reno dan membawaku menjauh dari kelas.
“Aku akan bantu kamu untuk menemukan Jaime!” ujar Reno setelah kami duduk di salah satu kursi taman “Sekarang kamu udah nggak sendiri lagi, Jen! Aku akan selalu ada buat kamu” tegasnya ketika aku mengangkat kepala setelah mendengar pernyataanya tentang adiku.
“Makasih, Ren” aku melingkarkan lenganku di lehernya dan merebahkan kepalaku di bahunya.

“Jangan pernah anggap aku orang lain lagi ya? Karena mulai sekarang aku adalah keluarga kamu.” ujar Reno dan mengelus rambutku “Nah, sekarang jangan nangis lagi ya!” Reno melepaskan pelukanku dan menghapus air yang telah membanjiri pipiku.
“Aku nggak tau harus bilang apa sama kamu, Ren?” ujarku tersenyum padanya.
“Kamu cukup ucapkan kata cinta sama aku.” jawab Reno tersenyum geli.
“Mr and Mrs perfect bolos kuliah, Keren. . . Keren. . .” Zlatan tiba-tiba muncul dari balik pohon bersama seorang cewek.
“Ngapain loe disini, Tan?” tanya Reno berusaha menyembunyikan wajahnya yang berubah menjadi merah karena kedatangan Zlatan.
“Inikan wilayah gue, brother!” jawab Zlatan dan berjalan ke arah kami dengan menggandeng mesra cewek itu “Harusnya gue yang nanya, kalian berdua ngapain bolos kuliah?” lanjutnya tanpa bisa menyembunyikan senyum geli yang menghiasi bibirnya.
“Bukan urusan loe!” ujarku garang dan menarik Reno menjauh dari Zlatan dan pacarnya.
“Nggak usah terlalu di pikirin, Zlatan orangnya rada usil dan hampir semua cewek disini pernah jadi pacarnya.” ujar Reno setelah kami berada pada titik jauh dari pendengaran Zlatan.
“Urusanya sama aku apa?”
Reno hanya mengangkat bahu menggambarkan ketidaktahuanya.

Share
Tweet
Pin
Share
No Comments
‘Mengapa aku harus memikirkan dia?’ wajah tampan dengan sejuta pesona itu tiba-tiba muncul dalam pikiranku, seseorang yang dalam waktu singkat telah menggeser posisi ku di hadapan teman-temanku, bahkan mengubah pandangan dosen terhadapku. Aku yang selalu menjadi nomor satu dalam segala hal, sekarang harus menjadi nomor dua hanya karena “DIA”.
“Jenny, tolong sebutkan sumber daya utama yang menunjang perekonomian negara Arab Saudi.” Aku menatap Pak Sugandi dengan tatapan kosong dan menggeleng perlahan untuk menggambarkan ketidaktahuanku. Bagaimana bisa aku menjawab pertanyaan itu, jika aku sendiri tidak mendengar apa yang di tanyakan dosen lulusan negara kincir angin itu.
“Silahkan Reno!” beliau mempersilakan mahasiswa laki-laki yang dari tadi mengancungkan tanganya.
“Minyak bumi, pak!” jawabnya yakin dan tersenyum angkuh saat aku menatapnya, mata itu bersinar penuh kemenangan seolah meneriakkan ‘Gue lebih pintar dari loe’.
“Great answer, Reno” Pak Sugandi tersenyum dan menurutku senyuman itu lebih mirip kincir angin yang di paksa untuk berputar di ruang hampa udara.
‘Bagaimana caranya ya?’ aku tersenyum mengingat pikiran usil ku barusan.
“Ok, Jen kau harus banyak belajar dari Reno, walaupun kalian lebih dulu satu tahun dari nya namun dia berhasil menyamai mata kuliah yang kalian ambil semester ini.” nasehat pak Sugandi telah ku dengar berkali-kali dan hampir semua dosen mengingatkan kami para mahasiswa tingkat akhir untuk meneladani Reno-sang mahasiswa tingkat tiga yang berhasil menyamai mata kuliah mahasiswa tingkat akhir dan mengungguli seluruh kakak tingkatnya dalam berbagai hal-.
“Selamat siang, kak!” sapaan itu berasal dari suara yang paling tak ingin ku dengar.
Aku berjalan santai mengabaikan pemuda itu dan dengan langkah lambat dia mengimbanggi langkahku.
“Loe marah ya karena gue menggeser posisi loe sebagai mahasiswa terpintar?” aku menghentikan langkah ku dan menatap ke dalam mata itu.
“Bukan urusan loe!” tegasku lalu setengah berlari meninggalkan pemuda yang masih berdiri diam setelah mendengar kalimat yang keluar dari mulutku.
***
Saat aku sedang dalam kesunyian, menatap kosong ke plavon yang ada di hadapanku, perasaan bersalah itu selalu merayapi sekujur tubuh ku.
“Jaime, apa kau masih hidup?” dengan tatapan hampa aku memandang potret adikku, satu-satunya keluarga yang kumiliki saat ini “Jika dia masih hidup” ujarku pelan.
Tok. . . Tok. . .
Aku beranjak untuk membuka pintu. Dengan sebatang coklat yang diberi pita merah muda di tangannya, Reno tersenyum manis padaku lalu pergi meninggalkan aku yang masih berdiri di depan pintu setelah menyerahkan coklat itu.
‘Menurut majalah yang gue baca, Coklat dapat memudarkan emosi yang memuncak. Percayalah, bahwa gue gak lebih pintar dari loe! Gue bisa seperti sekarang hanya karena loe, kak!’
Perasaanku menjadi tak karuan setelah membaca kartu yang di selipkan dalam coklat itu.
Reno telah mengingatkanku tentang banyak hal yang aku lupakan, Kehadiranya seolah membuatku sedikit melupakan perasaan bersalahku terhadap keluargaku, dan dalam tatapan matanya Reno seolah menunjukan jalan keluar untuk masalah yang ku hadapi, juga dapat ku pastikan hanya dengan sebatang coklat telah merubah perasaan benci ku terhadapnya.
Keesokan harinya dunia seolah mengubah arah rotasinya saat aku dan Reno masuk ke kelas Perdagangan Internasional dengan bergandengan tangan, diikuti dengan ratusan pandangan tak percaya. Namun, Reno dengan percaya diri makin mempererat genggamannya lalu tersenyum padaku -Senyum yang mengingatkank pada seseorang, yang entah siapa dan orang itu sangat dekat denganku-.
Share
Tweet
Pin
Share
No Comments
Di balik sebuah jendela kaca, aku menatap butiran-butiran air yang turun dari langit. Pohon-pohon serta rumput-rumput nan hijau tersenyum bahagia ketika butiran-butiran air itu membasahi tubuhnya. Hembusan nafasku mengaburkan kaca itu, aku bergidik takut saat kilatan cahaya membentuk garis zig-zag tepat di hadapan ku, secara spontan kedua tanganku menutupi kedua telingaku untuk menghindari suara petir yang menggelegar itu. 14 tahun yang lalu, Volume televisi di ruang keluarga sungguh memekakkan telinga, suara dari benda kotak itu seolah menandinggi gemuruh air dan petir dari luar sana. “Terjadi sebuah kecelakaan mobil di tengah kemacetan jalan tol. . .” aku tidak mengubris ucapan perempuan cantik yang ada di balik layar kaca, Jaime adik laki-laki ku meringkuk kedinginan dalam dekapanku. “Mama masih belum pulang ya kak?” hampir setiap selang sepuluh menit dia menanyakan ibuku. “Sebentar lagi, Jaime! Di luar sana masih hujan deras.” jawabku menenangkan adikku. Aku sama cemasnya dengan Jaime yang berusia pertengahan 6 tahun, pikiranku di penuhi dengan berbagai kejadian buruk tapi kusembunyikan segala hal itu dari adikku. Ayah dan Ibuku tidak kembali sampai jam di ruangan ini berdentang sebelas kali ‘kemana mereka?’ pikir ku. Tok. . . Tok. . . Terdengar suara ketukan dari balik pintu utama rumahku “Itu pasti mama!” Jaime tiba-tiba bangun dan berlari untuk membuka pintu itu. “Argh. . . .” aku mendengar erangan Jaime dan secepatnya aku berlari ke arah pintu utama, langkah ku terhenti ketika melihat adik yang sangat kucintai terkapar lemah dengan darah tak henti mengalir dari kepalanya. Tanpa menunggu aba-aba aku berlari dan bersembunyi di kolong meja ketika melihat empat laki-laki bertopeng mulai menggeledah setiap sisi rumah ku. Aku berusaha untuk tidak menimbulkan suara, setiap waktu yang tersisa ku gunakan untuk berdoa, dan tidak sedetik pun aku berhenti memikirkan nasib Jaime. ‘Apa dia sudah mati?’ ‘Tidak mungkin’ kata hati nurani ku ‘Jaime tidak akan mati’ aku menguatkan hatiku bahwa Jaime tidak mati. “Ayo kita pergi dari sini, sebelum polisi-polisi itu datang membawa mayat tua bangka itu.” empat pasang kaki terlihat akan beranjak keluar. “Bagaimana dengan anak itu?” ujar suara yang lainnya. “Dia masih hidup, sebaiknya kau bawa dia ke mobil, dia sangat bermanfaat bagi kita” perintah suara berat yang kuyakini adalah pemimpin mereka. Aku keluar dari persembunyianku setelah suara mobil menderu meninggalkan halaman rumahku. Aku duduk bersimpuh di hadapan darah Jaime yang masih segar “Tidak. . . .” teriakku histeris. Keesokan harinya, aku dihadapi oleh kenyataan yang lebih pahit, aku harus menghadiri pemakaman kedua orang tua ku yang meninggal dalam kecelakaan mobil tadi malam. Aku tinggal sebatang kara, ayah dan ibuku telah pergi untuk selamanya, dan Jaime adikku, entahlah aku tak sanggup mengingat hal itu “Andai saja waktu itu aku yang membuka pintu, Jaime tidak akan hilang.” aku menangis dalam dekapan tante Rossa, adik perempuan ayahku. “Tenanglah, Jen! Kita pasti akanmenemukan Jaime.” hibur tante Rossa. Dan sejak saat itu aku hidup bersama tante Rossa yang menjadi waliku, tante Rossa lah yang mengelola seluruh peninggalan orang tua ku sampai hari ini dan sekarang usia ku tepat 21 tahun, sudah saatnya aku mengelola seluruh milikku dan milik Jaime. “Aku akan menemukan, Jaime” ujar ku lirih. Hujan dan petir benar-benar meninggalkan trauma mendalam dalam diriku, Hujan dan Petir jua lah yang telah mengambil semua yang ku sayangi Mama, Papa, dan Jaime.
Share
Tweet
Pin
Share
No Comments
Newer Posts

Hi, I am Feby!

Hi, I am Feby!
The Greatness of a nation can be judged by the way its animals are treated ~Mahatma Gandhi

Join This Site

Member Of

Member Of

Blog Archive

  • Januari 2023 (1)
  • Juni 2022 (1)
  • Maret 2022 (1)
  • April 2021 (5)
  • Maret 2021 (1)
  • Agustus 2020 (2)
  • April 2020 (1)
  • Januari 2020 (1)
  • Desember 2019 (1)
  • Oktober 2019 (1)
  • September 2019 (1)
  • Mei 2019 (1)
  • April 2019 (1)
  • Maret 2019 (1)
  • Februari 2019 (1)
  • September 2017 (1)
  • Maret 2017 (1)
  • November 2016 (1)
  • Oktober 2016 (3)
  • Juni 2016 (1)
  • Februari 2016 (3)
  • Agustus 2015 (2)
  • Juni 2015 (1)
  • Mei 2015 (1)
  • Januari 2015 (1)
  • Oktober 2014 (1)
  • Agustus 2014 (2)
  • Juni 2014 (1)
  • Mei 2014 (1)
  • April 2014 (2)
  • Maret 2014 (1)
  • Februari 2014 (9)
  • Januari 2014 (2)
  • Desember 2013 (3)
  • November 2013 (3)
  • Oktober 2013 (3)
  • September 2013 (8)
  • Agustus 2013 (5)
  • Juli 2013 (3)
  • Juni 2013 (1)
  • Mei 2013 (2)
  • April 2013 (1)
  • Maret 2013 (5)
  • Januari 2013 (4)
  • Desember 2012 (1)
  • November 2012 (1)
  • Oktober 2012 (1)
  • September 2012 (3)
  • Agustus 2012 (1)
  • Juli 2012 (4)
  • Juni 2012 (11)
  • Mei 2012 (8)
  • April 2012 (8)
  • Maret 2012 (6)
  • Februari 2012 (2)
  • Desember 2011 (1)
  • November 2011 (27)

Created with by ThemeXpose