A Quater Of My Live

“Asalamualaikum!” aku mengucapkan salam sambil mengetok pintu rumahku dan tak ada jawaban. Aku berusaha melompat untuk menekan bel yang jauh dari jangkauanku, tiba-tiba pintu itu terbuka dan aku segera berlari masuk mengikuti wanita yang membukakan pintu untukku.
“Apa materi baru yang dipelajari hari ini?” Tanya wanita itu, setelah aku duduk di depan televisi dan mengganti channel melalui remote control di tanganku.
“Membaca jam, Nek.” Jawabku singkat, aku sudah terbiasa dengan pertanyaan ini setiap kembali dari sekolah “Sisi menjadi murid pertama yang bisa membaca jam, lho.” Ujarku bangga sambil melepaskan dasi yang terpasang rapi di kerah seragamku. Lalu cerita lengkap mengenai kegiatan di sekolah hari ini mengalir lancar dari bibirku, Nenek dengan cermat mendengarkan ceritaku, sesekali beliau memberi komentar atas tindakan yang tidak seharusnya aku lakukan seperti menangis ketika seorang teman laki-lakiku mematahkan ujung pensilku.
“Besok, Sisi nggak boleh sering nangis lagi di Kelas!” nasehat Nenek setelah mendengarkan keseluruhan ceritaku.
Aku menggangguk kecil menyetujui nasehat Nenek “Sekarang Sisi shalat dulu, lalu tidur siang.” Lanjut Nenek dengan kalimat yang selalu diucapkannya setelah mendengarkan celotehan harianku “Ntar sore kita ke Balai Desa, ada latihan tari untuk di tampilkan di Kenduri adat bulan depan.” Lanjut nenek dengan kalimat yang berbeda dengan hari-hari sebelumnya.
‘Menari’ tentu saja kalimat itu tidak asing bagiku, kedua kakak ku sering menari dalam berbagai kegiatan. Keluarga ku tak bisa terlepas dari kata “Seni” Nenek adalah orang yang memiliki jiwa seni tinggi mulai dari Seni memasak, Seni Menjahit, Seni Menyulam, Seni Tari, dan Seni Suara yang lebih dikenal dengan sebutan ‘Tale’[1], Tanteku[2] adalah guru kesenian di sekolah menengah di kotaku, sedangkan dua orang kakak sepupuku mewarisi jiwa seni dari tante dan Nenekku, mereka menari dengan gemulai dan bisa membaca nada.
***
Ini adalah hari pertama ku belajar menari, hasilnya dapat dinyatakan dalam satu kata “GAGAL”.
“Hati-hati! Jangan menginjak kakiku lagi.” Kata Nita setelah aku tiga kali menginjak kakinya.
“Sisi! Matanya lihat ke depan! Jangan liat yang lain.” Perintah Nenek ketika aku benggong melihat teman-temanku yang menirukan gerakan Ka Eli dan lagi-lagi aku menginjak kaki Nita yang di balas dengan tatapan garang darinya.
Setelah satu jam berkutat dengan gerakan lemah gemulai, kami diberi istirahat, aku segera keluar dari Balai Desa, aku ingin menangis tapi tak ada air mata yang mengalir dari mataku, aku ingin berteriak tapi nyatanya aku hanya diam membisu sambil duduk jongkok di belakang gedung Balai Desa, aku ingin seperti Dini yang bisa menirukan gerakan ka Eli dengan benar dan gerakan-gerakan itu menjadi lebih indah ketika dilakukan olehnya, aku ingin seperti Ka Maya dan Ka Eva yang selalu di banggakan oleh Nenek dengan prestasi mereka di bidang Seni.
“Sisi tidak akan menari lagi!” ujarku lirih dan berlari menuju rumah.
Setelah menyadari kenyataan bahwa aku tidak bisa menari, aku selalu menghindari kegiatan ini. Di sekolah aku selalu menghindari kegiatan menari dan aku selalu menolak ketika nenek mengajakku untuk ikut latihan tari bersama anak perempuan lain.
***
Latihan Tari pertama dan terakhir yang kuikuti ketika kelas 2 Sekolah Dasar telah lama berlalu, dan dengan sendirinya aku menghindari kata itu “Menari”. Dan orang di sekelilingku tidak begitu peduli akan hal itu, kecuali Nenek yang masih aktif dalam menawarkan berbagai latihan tari untukku ikuti. Namun, Sepertinya kegiatan Menari telah di blacklist oleh otakku sehingga aku selalu menemukan jawaban yang tepat untuk menghindari ajakan Nenek.
Kegiatan Seni berikutnya yang diajarkan padaku adalah Seni Suara, tanteku begitu senang ketika aku meminta untuk diajari membaca nada lagu-lagu daerah dan menyanyikannya.
“Besok tante ambilin catatan tangga nadanya di sekolah ya.” Ujar tante tersenyum “Malam ini Sisi dengar lagu aja dulu.” Lanjut tante sambil menyerahkan sebuah kaset tape padaku dan hasilnya malam ini aku tertidur dengan headset yang masih melekat di telingaku seolah menikmati lagu-lagu dari kaset yang diberikan tante.
“Gimana udah tau nadanya kan?” Tanya tante keesokan harinya.
Aku mengangguk sambil membaca buku berisi not-not lagu daerah yang diberikan oleh tante ‘Ketiduran setelah beberapa menit mendengarkan lagu, apa itu bisa dikategorikan ngerti nadanya ga ya?’ ujar hati kecilku.
Latihan Menyanyi sore ini membuat suara tawa terdengar setiap saat di rumahku, kedua kakakku yang awalnya tidak tertarik untuk menontonku belajar menyanyi mengalihkan perhatian mereka dari acara infoteiment di televisi dan ikut membantu tante mengajariku menyanyi dengan not yang benar.
Setelah adzan magrib akupun mengaku pada tante alasanku yang sebenarnya “Besok Sisi ujian praktek nyanyi, nte.” Ujarku sambil menunduk “Sisi harus nyanyiin lagu apa?”
Tante hanya tersenyum kecil mendengar pengakuanku “Kirain Sisi mau jadi Penyanyi minta diajarin baca nada.”
“Gimana bisa jadi penyanyi, kalau nadanya jadi ancur gitu.” Celetuk ka Eva yang memang suka berbuat iseng padaku.
“Improvisasi, kak.” Ujarku dengan tujuan pembelaan diri.
“Improvisasi itu untuk memperindah lagu, Si. Tapi improvisasi Sisi malah bikin lagunya jadi aneh.” Kali ini Ka Maya yang biasanya selalu membelaku dari kata-kata iseng Ka Eva ikut-ikutan meledekku.
“Sisi nyanyiin lagu yang paling gampang nadanya ya!” ucapan tante mengakhiri ledekan kedua kakakku “Setelah shalat magrib kita belajar lagi.” Kalimat itu mengakhiri pelajaran hari ini.
Setelah shalat magrib, tante kembali mengajarkan ku menyanyikan lagu dengan nada yang tepat, hasilnya tidak jauh berbeda dengan latihan tadi sore. Nenek yang sedang menyulam menyuruh kami mengakhiri kegiatan dan menyuruhku tidur karena jam dinding telah menunjukkan pukul 21.30.
“Menyanyi itu bukan Cuma perlu latihan, tapi Sisi juga butuh istirahat agar penampilan besok lebih baik dari sekarang.”
***
Hari ini aku merasa lega karena pengambilan nilai praktek kesenian telah selesai, aku telah melaksanakan tugasku menyanyi di depan kelas dan mendapatkan nilai untuk ijazah sekolah dasarku.
“Ujian prakteknya gimana, Si?” Tanya Ka Eva penasaran.
“Biasa aja.” Jawabku singkat.
“Emang tadi Sisi nyanyiin lagu apa?” pertanyaan ka Eva selanjutnya mengalihkan perhatian tanteku.
“Pelangi-Pelangi.” Jawabku dengan nada polos lalu diikuti dengan tawa dari kedua kakakku, tante, dan kali ini nenekku ikut tertawa.
***
Setelah duduk di bangku SMP, aku menyadari kenyataan bahwa aku dilahirkan bukan untuk menjadi penyanyi atau penari, bahkan aku dilahirkan dengan kenyataan bahwa aku tidak bisa melakukan kedua hal itu dengan baik.
Kehidupan putih-biru dengan beberapa tugasnya membuatku ingin bisa melukis, dan kali ini sasaranku adalah papaku. Sebagai putra dari nenekku, tentunya papa tidak akan kehilangan darah seni itu, Papa pintar dalam menirukan suatu bentuk diatas kertas.
Ketika mempelajari seni menggambar, hasilnya tidak lebih jelek dari hasil yang kuperoleh ketika mempelajari Seni Tari dan Seni Suara karena aku memperoleh satu hasil setelah mempelajarinya. Aku bisa menggambar setangkai bunga mawar dengan indah[3], hanya setangkai dan tak lebih.
***
“Sisi punya bakat apa sih?” Tanya Ka Eva pada suatu hari setelah aku masuk ke SMA “Nyanyi nggak bisa, Nari apalagi?” lanjutnya lagi.
Aku hanya bisa diam menanggapi kalimat itu, kalimat itu begitu sering kudengar dari orang-orang disekelilingku. Dan aku tau, kalimat itu memberi pengaruh besar dalam diriku “Aku tidak seperti keluargaku yang lain, mereka memiliki kelebihan di suatu bidang Seni tertentu. Lalu apa bakatku?”
***
Saat ini aku telah meninggalkan kota kelahiranku, aku telah menyebranggi selat Sunda untuk melanjutkan pendidikanku. Pertanyaan Ka Eva tak pernah terlupakan olehku, aku masih berusaha untuk menemukan diriku yang sesungguhnya.
Aku adalah seorang gadis tujuh belas tahun yang memiliki hobbi membaca, nonton film, dan satu hobbi lagi yang telah lama aku lupakan, hobbi yang tak begitu berarti dalam hidupku namun dalam seketika hobbi itu membuat kedua kakakku, tante, papa, dan mama tersenyum dan dengan tatapan tak percaya bertanya padaku “Sejak kapan Sisi memulainya?”
Ketika membereskan beberapa berkas yang digunakan untuk pendaftaran ulang di sebuah universitas, aku menemukan sebuah map yang berisi sobekan kertas dari buku tulis dan kertas binder. Aku ingin tertawa dan selalu menggelengkan kepala ketika membaca kalimat-kalimat yang tertulis di kertas-kertas itu, kalimat itu tertulis dengan tulisan tangan ku yang berantakan.
Setelah membaca beberapa kisah yang kutulis ketika SMP dan sebagian lagi ketika SMA aku menemukan banyak hal dalam diriku yang kulupakan. Aku tau siapa orang yang menjadi pusat grativasi dalam cerita-cerita ku, dan akhirnya aku menemukan bahwa aku bisa menulis, aku senang merangkai kata.
Aku tidak bisa menari dengan lemah gemulai namun jari-jariku mampu bergerak dengan indah diatas keyboard, jari-jariku akan bergerak cepat ketika aku memegang pensil untuk menulis buku harian.
Aku memang tidak bisa menyanyi, aku juga tidak bisa membaca nada, namun hatiku selalu membaca setiap gerak orang-orang disekitarku dan membuat skenario sendiri dalam dunia khyalanku.
Aku tidak bisa memindahkan bentuk suatu benda diatas kertas, namun aku bisa mendeskripsikan benda itu dalam sebuah cerita. Dan itulah aku yang sesungguhnya aku suka menulis, aku mencintai dunia jurnalistik yang selama ini kuabaikan demi menjadi bagian dari dunia medis.
Satu hal yang tidak berubah dari penemuan ini adalah aku terlalu malu untuk menujukan karya ku pada orang lain, aku takut mendengar kata-kata penolakan atau ledekan yang sering ku dengar dulu. Rasa takut itulah yang menyebabkan aku menyimpan banyak hal salam pikiranku, banyak kisah yang tiada akhir dan hanya mampu diingat oleh sebagian sarafku.
***
Aku menemukan hobbi lain, satu bagian yang tak terpisahkan dari hidupku. Sesuatu yang selalu ku cari ketika membuka mata di pagi hari, sesuatu yang selalu menemaniku hingga aku tertidur, dan sesuatu yang selalu menghiburku ketika aku merasa jenuh, suatu penemuan teknologi yang membuat banyak kehidupan bergantung padanya dan benda itu adalah telepon genggam.
Seiring berkembangnya teknologi Internet, banyak diciptakan berbagai situs pertemanan. Friendster, situs yang mengalihkan perhatianku dari kegiatan sekolah, hidupku hanya berkutat untuk mengganti layout profile friendster.
Teknologi yang mengubah hidupku secara mendasar adalah Blog dan Facebook. hidupku di dunia facebook bukan sekedar mengganti profile dan saling berkomentar. Aku menemukan sebuah media untuk mempublikasikan tulisanku, media untuk menunjukkan pada keluargaku bahwa aku memiliki sebuah kehidupan terkait seni, seni yang belum pernah dipelajari oleh keluargaku, Seni Menulis.
“Sisi akhirnya menemukan bakatnya, Sisi telah menemukan dirinya.” Ujar ka Eva setelah membaca tulisan pertama yang ku publikasikan di notes facebook.
“Sejak kapan Sisi nulis cerita?” pertanyaan itu berasal dari tanteku, walaupun tidak memiliki facebook Ka Maya menceritakan kegiatanku di situs pertemanan ini pada tanteku.
“Sisi nulis cerita apa?” pertanyaan ini memerlukan jawaban yang detail, mama selalu saja memberikanku pertanyaan yang mengharuskanku memberi jawaban dalam kalimat yang panjang lebar, mungkin suara sumbangku tidak mengganggu di telingga ibu yang telah melahirkanku.
“Pasti akhir ceritanya bahagia.” Papa memberi sebuah pernyataan dan bukan pertanyaan “Di dalam cerita, tokoh pasti mengalami banyak masalah namun mampu dihadapinya dan akhirnya sang tokoh menyelesaikan semua permasalahan yang dihadapi dengan baik dan kisah pun berakhir dengan happy ending.” Papa adalah sosok pribadi yang penuh kejutan, dari pernyataan itu aku mengambil sebuah kesimpulan bahwa ayahku juga suka menulis[4].
Satu hal penting yang aku lupakan selama Sembilan tahun adalah Rifky. Sebuah nama yang selalu ku ingat namun disamping itu aku berusaha untuk mengabaikannya. Rifky sahabatku yang telah pergi sembialan tahun yang lalu, sahabat yang tak pernah datang untuk menjumpaiku.
Dengan adanya teknologi masalah ini bukan lah hal yang sulit, facebook mempertemukan banyak sahabat lama, facebook memberi kesempatan setiap individu untuk berteman dengan individu dari belahan dunia lain, namun Facebook tidak bisa membantuku menemukan Rifky, sahabatku.
Facebook memberi kesempatan padaku untuk menunjukkan sisi lain diriku, bagian dalam diriku yang suka membentuk rangkaian kata dan menuliskannya diatas kertas dan akhirnya menemukan muara untuk ditunjukkan pada orang lain, facebook juga mampu memeberikan motivasi dalam diriku untuk tidak berhenti menulis dan mencapai bagaian tertinggi dalam dunia itu. Dan mengingatkan ku kembali pada janjiku untuk menulis sebuah kalimat “untuk sahabat yang tak akan aku lupakan”, janji yang pada suatu hari pasti akan aku tepati, janji yang dapat aku tepati setelah karyaku diakui dan diterbitkan.
“Walaupun aku tidak bisa menari, menyanyi, dan menggambar, tapi aku memiliki sebuah dunia yang tak akan terlepas dari kata seni, dan dunia itu adalah ‘Menulis’.”
“Aku akan menulis untuk papa, untuk mama, untuk nenek, untuk tante, dan seluruh keluargaku. Dan aku juga akan menulis untuk menepati janjiku pada sahabat yang telah menjadi pusat gravitasi dalam coret-coretanku.”
***


[1] Tale adalah salah satu seni tradisional dari daerah Kerinci, sejenis seni tarik suara yang menggunakan beberapa pantun yang saling sahut menyahut dengan irama tertentu, pantun yang digunakan dalam tale sesuai dengan kegiatan yang dilaksanakan. Misalnya Tale naik haji, yang berisi pantun perpisahan untuk para jemaah haji yang akan berangkat ke tanah suci.
[2] Sejak menamatkan TK aku tinggal bersama tanteku (kakak perempuan ayahku) bersama dengan nenek dan dua orang kakak sepupuku atas amanat Om ku yang telah meninggal dunia.
[3] Indah menurut pandanganku
[4] Suatu hari aku harus menanyakan hal itu pada papa secara lansung bukan menduga-duga seperti sekarang. Aku tidak tau mengapa, hanya saja sebuah suara dalam hatiku memintaku untuk menunggu waktu yang tepat untuk menanyakan hal itu pada papa.

You May Also Like

1 Comments

  1. tulisannya enak di baca...
    saya selalu suka dengan setiap tulisan yang kau tulis bi,,,
    terus berkarya dengan tulisan - tulisan mu...saya selalu menunggu pak pos datang dengan sebuah kiriman buku karangan Feby Yolanda Wulandari. :D

    BalasHapus