Hidup
di wilayah kaki pegunungan Kendeng di desa Kanekes, dan terkenal dengan
masyarakat Baduy. Adapun sebutan suku Baduy berasal dari kata Badui, yakni
sebutan dari golongan/ kaum Islam yang tidak mau mengikuti dan taat kepada
ajaran agama Islam, sedangkan di Saudi Arabia golongan yang disebut Badui
merupakan golongan yang membangkang tidak mau tunduk dan sulit di atur sehingga
dari sebutan Badui, selain itu kata Baduy mungkin berasal dari nama Sungai Baduy
dan Gunung Baduy yang ada di utara wilayah tersebut. Masyarakat Baduy terbagi
menjadi Baduy dalam dan Baduy luar, secara umum mereka memiliki persamaan dalam
adat istiadat. Perbedaannya terletak pada masyarakat Baduy luar memberikan
keringanan dalam pelaksanaan adat tersebut, misalnya masyarakat baduy luar
diperbolehkan menggunakan kendaraan bermotor sedangkan masyarakat baduy dalam
hanya boleh berjalan kaki.
Mata
pencaharian utama masyarakat Baduy adalah bertani padi huma dan kegiatan
perdagangan. Barang yang dijual merupakan hasil pertanian dari ladang
masyarakat seperti buah-buahan, madu, dan gula aren. Pada saat tidak ada kegiatan
di ladang laki-laki Baduy sering berkelana ke luar dari wilayah Baduy. Mereka
pergi dalam rombongan yang berjumlah 3-4 orang. Dalam perjalanan ini, mereka
akan mengunjunggi kenalan yang pernah datang ke Baduy, selain itu mereka juga
menjual madu dan hasil kerajinan tangan.
Masyarakat
Baduy bertani dengan mengolah hutan adat yang berada di luar kawasan hutan
lindung. Pertambahan jumlah penduduk yang cukup pesat tentunya tidak dapat
dihindari. Masyarakat Baduy berusaha sedemikian rupa membagi lahan untuk diolah
dan dimanfaatkan oleh warganya. Mereka membagi penggunaan lahan sebaik mungkin
dan tidak pernah mengganggu hutan lindung.
Masyarakat
Baduy menutup diri dari pengaruh luar sehingga adat yang telah diterapkan oleh
nenek moyang mereka masih terjaga kemurniannya. Ketika memasuki perkampungan
Baduy Desa Cibeo, kita akan merasakan sensasi kembali ke masa lampau.
Perkampungan Baduy didesain sangat teratur, berupa rumah panggung dengan pintu
yang mengarah ke utara atau selatan, bentuk. Bagian samping dan bawah rumah
dimanfaatkan sebagai tempat penyimpanan kayu bakar. Masyarakat Baduy membangun
rumah secara bergotong royong, sebelumnya mereka mempersiapkan komponen untuk
membangun dan memasangnya secara bertahap. Kegiatan membangun rumah merupakan
wujud kebersamaan dan kepedulian masyarakat Baduy terhadap sesama. Masyarakat
baduy mampu menyelesaikan kurang lebih sepuluh rumah dalam satu hari dengan
bermodalkan semangat dan kerjasama. Masyarakat Baduy memiliki ciri khas dalam
berpakaian. Masyarakat Baduy dalam hanya menggunakan pakaian yang berwarna
hitam dan putih dengan ikat kepala putih untuk laki-laki.
Kepercayaan
Masyarakat baduy dikenal dengan Sunda Wiwitan. Inti kepercayaan tersebut
ditunjukkan dengan adanya pikukuh atau ketentuan adat mutlak yang dianut dalam
kehidupan sehari-hari. Isi terpenting dari 'pikukuh' (kepatuhan) Kanekes
tersebut adalah konsep "tanpa perubahan apa pun", atau perubahan
sesedikit mungkin: Lojor
heunteu beunang dipotong, pèndèk heunteu beunang disambung (Panjang tidak bisa/tidak boleh
dipotong, pendek tidak bisa/tidak boleh disambung). Bukti nyata dari konsep ini
dilihat dari:
- Cara masyarakat baduy dalam membangun rumah. Rumah panggung tanpa pondasi dengan tiang rumah mengikuti relief tanah sehingga tidak merusak struktur tanah tersebut.
- Larangan menggunakan zat kimia di wilayah baduy dalam agar tidak mencemari air dan lingkungan Baduy.
- Larangan penggunaan peralatan elektronik dan mereka juga melarang masuknya listrik ke wilayah Baduy.
- Larangan menggunakan peralatan elektronik di lingkungan Baduy bukannya tidak beralasan. Tidak adanya peralatan elektronik mampu mempererat persaudaraan dan kekeluargaan dalam lingkungan masyarakat. Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Baduy terutama laki-laki sering berkumpul di teras rumah salah satu warga dan saling bertukar cerita.
Masyarakat
Baduy dipimpin oleh seorang pimpinan adat yang disebut Pu’un. Setiap kampung Cibeo, Cikertawana, dan Cikeusing dipimpin
oleh satu orang Pu’un. Jabatan Pu’un bersifat turun-temurun, tidak
harus dari ayah ke anak tapi masih bisa diturunkan pada kerabat laki-laki
lainnya. Walaupun, memiliki struktur pemerintahan sendiri masyarakat Baduy
masih menerima dan mengikuti sistem Pemerintahan Republik Indonesia yang tidak
bertentangan dengan adat mereka. Orang-orang yang melanggar adat biasanya
diberi hukuman. Hukuman berupa bekerja tanpa upah paling lama empat puluh hari.
Pendidikan
formal merupakan salah satu hal yang dilarang oleh adat masyarakat Baduy, namun
ada banyak masyarakat Baduy yang mampu menulis, membaca, dan berhitung.
Tentunya, kemampuaan ini tidak didapat melalui pendidikan formal. Masyarakat
Baduy memperoleh kemampuan tersebut dengan belajar secara otodidak. Mereka bisa
membaca karena harus mampu mengenali petunjuk arah yang tersebar di jalan
ibukota saat mereka keluar dari wilayah Baduy.
Kearifan
lokal merupakan gagasan-gagasan atau nilai-nilai, pandangan-padangan setempat
atau (lokal) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik yang
tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya. Masyarakat Baduy merupakan
sekelompok masyarakat yang sangat menjunjung tinggi adat istiadat dan
menggunakan pola hidup sederhana dalam keghidupan sehari hari. Masyarakat baduy
dikenal sangat tertutup, tapi bukan berarti mereka antisosial. Adat istiadat yang
dipercaya dan dijalankan merupakan dasar kehidupan mereka, sehingga mereka
tetap menjalankan amanat buyut.
Masyarakat
Baduy merupakan salah satu contoh masyarakat yang mampu mempertahankan adat
istiadat yang telah diwariskan oleh leluhur mereka. Baduy merupakan sekelompok
masyarakat tertutup yang tidak menerima pengaruh luar tapi mampu beradaptasi
dengan masyarakat luar tanpa kehilangan identitas mereka sebagai masyarakat
Baduy.
0 Comments