Continue Of -4-

“Reno!” teriakku dari balik pintu rumah kontrakanya “Aku sudah menemukan Jaime.” ujarku cepat ketika seseorang membukakan pintu.
“Reno sedang keluar, masuk aja di luar dingin banget.” jawab Zlatan acuh dan membiarkan daun pintu terbuka lebar.
Aku mengikuti Zlatan masuk ke ruangan seluas dua belas meter persegi itu, tampak sebuah sofa empuk dan TV 21 inchi di hadapanya, dua pintu yang saling berhadapan yang kupastikan masing-masing merupakan kamar tidur Reno dan Zlatan.
Zlatan kembali dengan dua cangkir di tanganya.
“Duduklah Jen!” perintahnya “Reno akan bunuh gue kalau melihat gue memperlakukan tamu istimewanya dengan tidak sopan.” lanjutnya tersenyum sambil memberikan sebuah cangkir berisi teh hangat padaku.
“Thank’s!” ujarku pelan lalu duduk di samping Zlatan yang sibuk mengganti chanel TV.
“Siapa Jaime?” tanya Zlatan kemudian.
“Adik gue.” jawabku enggan lalu meminum sedikit teh dari cangkir tadi.
“Apa yang terjadi sama adik loe?” pertanyaan baru itu keluar dari bibir Zlatan dan aku memandangnya tak percaya “Maaf, gue nggak bermaksud ikut campur.” lanjutnya setelah mempelajari ekspresi yang dimunculkan oleh wajahku.
“Nggak apa-apa kok, lagian loe teman baik Reno.” setelah berpikir sejenak, aku memutuskan untuk menceritakan tentang Jaime padanya.
Zlatan mendengarkan ceritaku dengan seksama, suara yang datang dari televisi dan gemuruh hujan dari luar ruangan ini tidak dapat menghalanggi setiap kalimat yang ku ceritakan pada Zlatan.
Kilatan cahaya yang berasal dari langit bergerak cepat melewati jendela kaca, Zlatan sangat ketakutan ketika gemuruh suara petir terdengar, aku mematikan televisi lalu Zlatan bergerak cepat ke arahku, tanpa aba-aba lenganku memeluk tubuh Zlatan yang mengigil karena ketakutan, aku hanya ingin melindunggi sosok dalam dekapanku.
Selama beberapa menit suasana di ruangan ini begitu sunyi, hanya suara rintik hujan yang terdengar dan “Prak!” pintu utama rumah ini dibanting, seketika Reno menghilang dari pandanganku. Aku melepaskan dekapanku dari tubuh Zlatan yang masih mengigil lalu berlari cepat mengejar Reno.
“Reno.” ujarku lirih setelah berhasil mengejarnya.
“Maaf!” akhirnya aku mampu bersuara “Aku nggak bermaksud untuk. . .”
“Sst. . .” Reno menyentuh bahuku dan memintaku untuk memandangnya “Aku udah tau hal ini akan terjadi.” lanjut Reno dengan mata yang menatap tajam ke arahku.
“Tapi Ren. . .” sekali lagi Reno meletakkan telunjuknya di bibirku, memintaku untuk diam dan mendengarkanya.
“Harusnya aku berterima kasih sama kamu, Zlatan tidak bisa di tinggalkan sendiri dalam cuaca seperti ini.” ujarnya lembut dan aku hanya dapat memandangnya penuh tanda tanya.
“Tadinya aku pulang untuk menemani Zlatan, tapi saat aku masuk dan melihatmu memeluknya pikiranku jadi kacau, aku pun lupa Zlatan akan lebih buruk jika dia sendiri.” jelas Reno dengan tersenyum.
“Jadi ada keperluan apa mencariku ke rumah?” tanya Reno memecahkan lamunanku.
“Aku menemukan Jaime.” aku tak dapat menyembunyikan perasaan bahagia yang ku rasakan di hadapan Reno, Reno yang telah mengubah pandanganku tentang hidup dan Reno yang selalu membuatku merasa dilindunggi.
“Jaime pasti akan bahagia memiliki kakak seperti mu, Jen.” bisik Reno di telingaku.
“Zlatan?” aku melepaskan pelukan Reno ketika teringat pada Zlatan yang kutinggalkan sendiri.
Wajah Reno menggambarkan kekhawatiranya, dia menggenggam tanganku dan mengajaku berlari cepat melawan derasnya hujan untuk kembali ke rumah kontrakanya.
“Tan?” Reno berjalan cepat ke arah kamar Zlatan dan mengintip melalui celah pintu yang tidak di tutup “Dia sudah tidur.” Reno memberitahuku lalu masuk ke kamarnya.
“Pake baju ini aja, Jen! Ntar masuk angin kalau pake baju basah.” Reno menyerahkan satu stel pakaian miliknya padaku dan mengisyaratkan aku untuk mengganti pakaianku di kamar mandi.
Aku menganti pakaianku dengan cepat, pakaian basah ini membuat tubuhku mengigil.
“Tan kenapa loe gak pernah jujur sama gue!” teriak Reno dari arah kamar Zlatan.
“Kenapa Tan?” pinta Reno dengan suara yang lebih lirih dan Zlatan masih diam menahan emosinya.
“Loe gak usah bohongi gue lagi Tan!” Reno mengucapkan kalimat itu lebih lirih lagi “Semua ini udah nunjukin siapa loe.” emosi kembali menguasai Reno.
“Jawab Zlatan!” perintah Reno sedangkan Zlatan hanya diam.
Reno melempar buku gambar yang dipegangnya dan buku itu jatuh tepat di ujung kakiku.
“Harusnya gue nggak boleh percaya loe!” ujar Reno lagi.
Aku mengambil buku gambar itu dan di halaman pertama buku itu wajahku di lukis dengan goresan-goresan pensil yang halus, halaman kedua, ketiga, keempat, dan seterusnya wajahku kembali menghiasi buku itu.
“Jenny!” panggil Zlatan yang dari tadi hanya diam, Kecemasan menghiasi wajahnya ketika melihatku berdiri tegak di dekat pintu kamarnya sambil membolak-balik setiap halaman yang melukiskan wajahku.
“Gue nggak pernah membayangkan hal ini akan terjadi, tapi mulai sekarang jangan sebut gue sahabat loe.” tegas Reno penuh amarah dan menarikku keluar setelah melempar buku gambar itu ke arah Zlatan.

“Zlatan juga menyukaimu, Jen!” kata Reno ketika dia mengantarku pulang.
“Ren, hanya ada kamu di hatiku dan kamu tau itu.” ujarku tersenyum dan menatap ke dalam matanya untuk menegaskan ucapanku, agar Reno menemukan kejujuran yang kuucapkan “Berbaikanlah dengan Zlatan dan besok kita bertiga akan menjemput Jaime.” lanjutku tersenyum dan masuk ke rumahku.
“Ingat! Datanglah bersama Zlatan.” ulangku lagi.

You May Also Like

0 Comments