Jurnal 50, Malu Menjadi Orang Indonesia


Setelah membaca judul postingan ini, mungkin banyak yang bilang Kenapa? Emang sih dari jaman masih kelas 1 SD kita sudah mulai belajar yang namanya Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, mulai dari gimana tata tertib hidup bertetangga, antar umat beragama, antar ras, dan sejenisnya hingga ke sistem yang ada di negara ini. Menurut saya, inti dari mata pelajaran yang  wajib dari jaman SD hingga ke anak kuliahan adalah untuk mengajarkan kita tentang bangsa ini dan mencintai tanah air kita. Tujuan yang sangat simpel dan gampangan, tapi percaya atau gak 80% peserta ajar pasti ogah-ogahan dengan tema satu ini.  Kembali ke topik!
Kenapa harus malu?? Hello... Indonesia itu terbentang dari sabang sampai merauke dari 6oLU hingga 11oLS, dari 95oBT hingga 141oBT, terdiri atas ribuan pulau dengan hasil dan keindahan alam yang luar bisaa. Dengan potensi yang boleh dikatakan sangat luar bisaa itu kenapa kita harus malu jadi orang Indonesia? Jawaban nya adalah Sumber Daya Manusia! Saya gak bilang orang Indonesia gak berpotensi lho.. Hanya bagi saya kebanyakan orang Indonesia tidak memiliki rencana jangka panjang sehingga sekilas terkesan dangkal. Saya mungkin termasuk salah satu orang Indonesia yang memiliki ciri khas seperti yang ditulis diatas. Kata ‘mungkin’ sangat tepat untuk mewakili ciri khas tersebut, bahkan saya tidak berani bilang saya tidak terkategori jenis tersebut.
Kenapa menulis?? Kecewa dan sedih, banyak orang yang berasal dari luar wilayah Indonesia, gak punya KTP dengan korp burung garuda, dan hanya berbekal sebuah buku kecil yang diberi nama passport untuk datang ke Indonesia. Kenapa mereka dengan gampangnya menyimpulkan tentang karakter bangsa kita?? Misalnya ngaret, ciri khas yang paling dikenal oleh orang lain dan tidak bisa dipungkiri oleh kita semua.
Dan yang paling menyedihkan dan membuat seluruh bangsa ini uring-uringan adalah problem dengan negeri tetangga, Malaysia. Ada gak sih yang pernah menanyakan pada dirinya sendiri, Kenapa banyak kebudayaan dan adat kita yang diakui oleh orang-orang negeri jiran? Ada dua alternatif, dari mereka atau kita. Mereka yang emang suka ngaku-ngaku kaya akan budaya atau kita sebagai bangsa Indonesia gak pernah tau tentang budaya itu sendiri atau lebih mirisnya gak pengen tau. Liat aja data kunjungan ke museum pasti rentangnya beda jauh dengan kunjungan ke mall. Bahkan kalaupun museum rame, pasti isinya orang tinggi, putih, pake ransel gede, dan rambutnya pirang. Nah, kalaupun ada yang rambutnya hitam bisa jadi turis dari negeri tetangga atau satu dua yang punya KTP burung garuda. Kalaupun (lagi) ada orang Indonesia pasti belum punya KTP karena ikut tour sekolahan dan kalau udah punya KTP pasti lagi jalan-jalan bareng teman atau pacar buat ngambil foto trus ganti profil picture acoount social. Wait… wait… saya gak lagi ngejelekin SDM bangsa ini, Cuma miris aja ngeliatnya. Gimana nasib bangsa ini satu atau dua dekade lagi kalau calon pemimpin bangsa berasal dari kalangan yang suka nge-mall dan kalaupun gak suka nge-mall suka nya ngomong sana-sini tapi kerjanya NOL.
Nah, satu lagi yang bikin saya sedih. Saya masih ingat buku pribahasa warisan dari uni yang saya pake waktu sekolah kok gak ada revisi ya?? Kemungkinannya adalah saya kalau ke gramed Cuma liat majalah sama novel doang atau minat untuk tau pribahasa udah gak ada lagi. Menurut saya (Cuma pendapat subjektif) sepertinya pribahasa di negeri ini udah mengalami reshuffle. Kalau jaman dulu pribahasa itu selalu mengaitkan antara mahluk hidup dan seisi alam semesta, ada gula ada semut, sambil menyelam minum air, dan lain-lain. Kalau sekarang pribahasa bisa dikategorikan bermaksud ibarat, contohnya Cicak dan Buaya dan  Asal Bapak Senang.
Asal Bapak Senang, Poin yang ingin saya ambil setelah pembukaan satu paragraf diatas. Sejak duduk di tingkat akhir Fakultas Kedokteran Hewan diikuti dengan berita tentang import sapi dan swasembada daging 2014 lagi hot. Beberapa dosen sering kali menyelipkan kalimat ‘Asal Bapak Senang’, pribahasa baru ini menyinggung permasalahan data. Kenapa swasembada daging yang sudah dicanangkan dari awal abad ini gak pernah terealisasi (Semoga bisa terealisasi di tahun 2014). Masalahnya ada di data, Bagaimana suatu program bisa tercapai kalau data dasar gak sesuia kondisi lapangan? Katanya sih kebanyakan data terkait swasembada daging dibuat sesuai keinginan bos dan mungkin tidak sesuai dengan kondisi di lapang (mungkin ada keterbatasan transportasi dan sejenisnya, mengingat betapa luasnya negeri ini). Pastinya kita tidak tau banyak cerita dibalik layar swasembada daging. Yang lebih menyedihkan lagi adalah pribahasa (baru) ‘Asal Bapak Senang’ mulai diterapkan dikehidupan sekolah dan kampus, mungkin diganti dengan ‘Asal Teman Senang’. Gimana bangsa ini mau maju kalau banyak generasi muda yang sedang belajar  untuk mempersiapkan kerasnya dunia kerja dan kehidupan politik serta birokrasi negeri ini sudah mulai menerapkan prinsip itu. Kalau kerja, lebih mementingkan asas ‘Asal teman senang’, Biar ngumpet yang penting aman, Berpihak pada yang aman, atau mungkin ‘Semakin banyak omong semakin keren’. Nemu pribahasa menarik lagi ‘Semakin banyak omong semakin keren’. Yep, banyak ngomong persiapan untuk latihan kampanye DPR kali ya? Boleh sih banyak omong untuk meyakinkan orang dan mungkin untuk latihan jadi anggota DPR. Tapi… orang yang banyak omong harus diikuti dengan pembuktian, Kapan bisa kerja dan memberi sebuah pembuktian kalau satu tangan dipake buat pegang mic dan satunya lagi buat ekspresi ala pembaca puisi. Ada sih yang bisa, nah yang gak bisa itu adalah yang siang hari dipake buat kampanye dan koar-koar trus malam sampe subuh di pake buat ketok subuh (bener gak sih istilahnya) ala masa-masa dekat pemilu yang si omong besar bergerak dari satu rumah ke rumah lainnya buat bagi-bagi amunisi biar dipilih dan dianggap hebat. Cukup!! Orang yang gak tau kenyataan (yang cuma dengar doang) dan gak ngerti politik gak boleh nulis banyak.
Tulisanya udah mulai amburadul dan melenceng dari kerangka awal. Di kerangka yang saya buat saya mencontohkan kondisi ini pada film Box Office terbaru ‘Habibie dan Ainun’. Ketika duduk di bioskop bareng Riad, saya paling sedih ketika Pak Habibie (kalau di film Mas Reza Rahardian) datang ke IPTN Bandung setelah LPJ kepemimpinanya ditolak. Scene itu menunjukkan Habibie juga manusia, yang bisa sedih dan kecewa. Kecewa kepada dirinya sendiri karena telah kehilangan waktu bersama keluarga karena harus membuat Gatot Kaca sebagai tonggak kemajuan negeri ini, dan mungkin kecewa terhadap bangsa yang tidak mau menerima perubahan. Niat awalnya untuk menyatukan Indonesia yang merupakan Negara kepulauan dengan transportasi yang dipermudah dikalahkan oleh personal-personal yang kuat di omongan tapi kerjanya siapa tau?? Sebagai pemegang KTP korp burung garuda, terkadang saya bertanya, Apa saya akan memilih BJ Habibie setelah di kompori dengan omongan-omongan si omong besar? (tapi, sayangnya saya belum punya hak pilih di tahun 1998/1999)?
Kenapa saya mencontohkan Habibie? Karena hampir seluruh masyarakat Indonesia sudah menonton cerita ini. Dan bagi saya maksud dari film ini (Cuma bagi saya lho), ‘Apa kita sebagai bangsa Indonesia (yang saat ini udah punya hak pilih langsung bukan lagi lewat DPR) masih mau melepaskan pribadi-pribadi yang memiliki potensi besar hanya karena kita dikelilinggi oleh sosok yang suka berkoar dan Cuma bisa ngomong doang tapi kerjanya NOL BESAR’
Dan setelah menulis panjang lebar, ini tulisan tentang apa sih?? Yah, mungkin ini hanya sedikit kalimat dan permasalahan yang sering melintasi otak saya. Sebagai salah satu putra Indonesia pastinya saya tidak ingin negeri ini hancur. Mungkin kita tidak punya kekuasaan yang besar untuk mempengaruhi orang lain, tapi kita bisa memulai dari hal yang kecil. Mulai dari mengenali negeri kita, mengenali setiap potensi dan kebudayaannya (agar tidak diambil Negara lain) dan memulai kehidupan baru sebagai putra bangsa ini. Kehidupan baru yang saya maksud adalah mengamati orang-orang yang ada di tonggak kepemimpinan, belajar dari setiap kebaikan dan potensi yang mereka miliki dan menjadikan kesalahan dan kekhilafan mereka sebagai pelajaran agar kita menjadi lebih baik. Dan yang harus ditulis adalah ‘Kita bisa belajar banyak dari sejarah, tapi hanya belajar sedikit dari mendengar koar-koar yang belum tentu jelas’

You May Also Like

0 Comments