Continue Of -2-

‘Mengapa aku harus memikirkan dia?’ wajah tampan dengan sejuta pesona itu tiba-tiba muncul dalam pikiranku, seseorang yang dalam waktu singkat telah menggeser posisi ku di hadapan teman-temanku, bahkan mengubah pandangan dosen terhadapku. Aku yang selalu menjadi nomor satu dalam segala hal, sekarang harus menjadi nomor dua hanya karena “DIA”.
“Jenny, tolong sebutkan sumber daya utama yang menunjang perekonomian negara Arab Saudi.” Aku menatap Pak Sugandi dengan tatapan kosong dan menggeleng perlahan untuk menggambarkan ketidaktahuanku. Bagaimana bisa aku menjawab pertanyaan itu, jika aku sendiri tidak mendengar apa yang di tanyakan dosen lulusan negara kincir angin itu.
“Silahkan Reno!” beliau mempersilakan mahasiswa laki-laki yang dari tadi mengancungkan tanganya.
“Minyak bumi, pak!” jawabnya yakin dan tersenyum angkuh saat aku menatapnya, mata itu bersinar penuh kemenangan seolah meneriakkan ‘Gue lebih pintar dari loe’.
“Great answer, Reno” Pak Sugandi tersenyum dan menurutku senyuman itu lebih mirip kincir angin yang di paksa untuk berputar di ruang hampa udara.
‘Bagaimana caranya ya?’ aku tersenyum mengingat pikiran usil ku barusan.
“Ok, Jen kau harus banyak belajar dari Reno, walaupun kalian lebih dulu satu tahun dari nya namun dia berhasil menyamai mata kuliah yang kalian ambil semester ini.” nasehat pak Sugandi telah ku dengar berkali-kali dan hampir semua dosen mengingatkan kami para mahasiswa tingkat akhir untuk meneladani Reno-sang mahasiswa tingkat tiga yang berhasil menyamai mata kuliah mahasiswa tingkat akhir dan mengungguli seluruh kakak tingkatnya dalam berbagai hal-.
“Selamat siang, kak!” sapaan itu berasal dari suara yang paling tak ingin ku dengar.
Aku berjalan santai mengabaikan pemuda itu dan dengan langkah lambat dia mengimbanggi langkahku.
“Loe marah ya karena gue menggeser posisi loe sebagai mahasiswa terpintar?” aku menghentikan langkah ku dan menatap ke dalam mata itu.
“Bukan urusan loe!” tegasku lalu setengah berlari meninggalkan pemuda yang masih berdiri diam setelah mendengar kalimat yang keluar dari mulutku.
***
Saat aku sedang dalam kesunyian, menatap kosong ke plavon yang ada di hadapanku, perasaan bersalah itu selalu merayapi sekujur tubuh ku.
“Jaime, apa kau masih hidup?” dengan tatapan hampa aku memandang potret adikku, satu-satunya keluarga yang kumiliki saat ini “Jika dia masih hidup” ujarku pelan.
Tok. . . Tok. . .
Aku beranjak untuk membuka pintu. Dengan sebatang coklat yang diberi pita merah muda di tangannya, Reno tersenyum manis padaku lalu pergi meninggalkan aku yang masih berdiri di depan pintu setelah menyerahkan coklat itu.
‘Menurut majalah yang gue baca, Coklat dapat memudarkan emosi yang memuncak. Percayalah, bahwa gue gak lebih pintar dari loe! Gue bisa seperti sekarang hanya karena loe, kak!’
Perasaanku menjadi tak karuan setelah membaca kartu yang di selipkan dalam coklat itu.
Reno telah mengingatkanku tentang banyak hal yang aku lupakan, Kehadiranya seolah membuatku sedikit melupakan perasaan bersalahku terhadap keluargaku, dan dalam tatapan matanya Reno seolah menunjukan jalan keluar untuk masalah yang ku hadapi, juga dapat ku pastikan hanya dengan sebatang coklat telah merubah perasaan benci ku terhadapnya.
Keesokan harinya dunia seolah mengubah arah rotasinya saat aku dan Reno masuk ke kelas Perdagangan Internasional dengan bergandengan tangan, diikuti dengan ratusan pandangan tak percaya. Namun, Reno dengan percaya diri makin mempererat genggamannya lalu tersenyum padaku -Senyum yang mengingatkank pada seseorang, yang entah siapa dan orang itu sangat dekat denganku-.

You May Also Like

0 Comments