Andini

Satu hal yang paling aku sadari dalam kehidupan ini adalah “aku tidak gila”. Namun, semua orang disekelilingku menganggapku menderita kelainan jiwa. Atas alasan inilah aku berada disini, disebuah ruangan yang dicat putih sempurna, tempat tidur besi yang juga dicat putih dengan seprei berwarna putih yang terlihat berantakan. Bau obat-obatan yang menyengat dengan berbagai karakter manusia yang jiwanya terbelah memenuhi seluruh lingkungan tempat tinggalku sekarang.

“Selamat pagi, Andini!” suster yang bertugas merawatku masuk dengan membawa baskom yang berisi air hangat “Bagaimana kabarmu hari ini nak?” Tanya suster itu lagi, aku hanya diam menatap wanita yang tanpa menunggu jawabanku lansung melaksanakan tugas hariannya, membersihkan tubuhku.

***

“Anak ini menderita Scizofrenia.” Jelas seorang wanita dengan steteskop digantungkan dilehernya pada pamanku “Scizofrenia adalah penyakit pada otak yang berakibat pada kondisi kejiwaan seseorang, penyakit ini sangat lazim terjadi terutama pada usia 16-25 tahun. Dari gejala yang dialami oleh keponakan anda seperti tidak dapat mengekspresikan emosi dan kehilangan kemampuan berbicara menurut saya ada baiknya Andini diberikan perawatan medis.” Jelas wanita itu setelah melihat ekspresi binggung paman ketika mendengar istilah kedokteran tadi.

Paman masih diam ditempatnya setelah dokter muda itu berpamitan dan meninggalkan kamarku, sebersit kekecewaan dan ketakutan tak kunjung meninggalkan wajahnya. Paman duduk di pinggiran ranjang tempat dimana aku duduk diam dengan pandangan fokus pada dinding biru dihadapanku, air mata yang selama beberapa menit berusaha untuk tetap ada di sudut matanya tak dapat ditahan lagi, suara tangisanpun lepas dari mulut paman dan dia lansung memelukku “Andin, paman tidak tau lagi apa yang harus paman lakukan, orang tua mu telah pergi meninggalkan kita dan sekarang apa yang terjadi padamu, nak?”

***

“Andini, benarkah itu nama mu?” Tanya dokter baru yang akan merawatku seraya memperhatikan data-data kondisi kejiwaanku selama tiga tahun terakhir.

“Apa kau tau kenapa kau ada disini?” pertanyaan kedua diajukan oleh pria itu tanpa menunggu jawabanku atas pertanyaan pertama, menurutku dia sudah mendapat jawaban atas pertanyaan itu dari file yang ada dihadapannya, file itu juga dilengkapi dengan gambaran wajahku, aku masih ingat foto itu diambil setelah kelulusan SMA, foto yang akan aku gunakan untuk mendaftarkan diri ke perguruan tinggi

“apakah aku terlalu banyak berpikir?” kalimat itu muncul secara tiba-tiba dalam benakku.

“Aku terlalu banyak berpikir dalam beberapa menit terakhir.” Ucapku tiba-tiba, suara itu terdengar aneh di telinggaku, mungkin aku sudah mulai melupakan suara yang selama tiga tahun tak pernah terdengar keluar dari mulutku, suara yang terkadang terdengar samar dalam kepalaku “Apakah itu wajar?” tanyaku kemudian menatap heran pada dokter yang ada dihadapanku.

“Apakah selama ini kau tak pernah berpikir, Andini?” Tanya dokter itu sambil tersenyum “Bagaimana aku harus memanggilmu? Andin? Dini? Atau adakah panggilan yang kau sukai?” candanya sambil tersenyum manis.

“Panggil saja Andin!”

“Baiklah Andin, selama tiga tahun terakhir apa yang kau pikirkan?”

“Kecelakaan itu dan ada satu kalimat yang dapat kupastikan kebenarannya, namun tak dapat aku ucapkan.” Ucapku ragu.

“Kalimat apa?” dokter itu sepertinya sangat penasaran dengan pikiran ku.

“Aku tidak gila!” tegasku.

“Saya mengerti maksud kamu.”

“Saya bukan mau mengelak dan bermaksud kabur, tapi saya tau betul keadaan otak saya, baik alam sadar maupun tidak sadar, saya dapat menegaskan hal itu, dan sekali lagi saya tegaskan bahwa saya tidak gila.” Ucapku bersemangat, ekspresi yang muncul pada wajah dokter muda dan “tampan” itu tak dapat ku artikan, dia tersenyum sekilas dan kembali memperhatikan data kesehatanku.

“Kenapa tidak kamu tidak menegaskan hal itu pada dokter-dokter sebelumnya?” dia menutup file yang berisi data-data ku, lalu menatap kedalam mataku menantikan jawaban atas pertanyaan yang diajukannya.

“Selama ini aku berusaha untuk mengatakan hal itu, tapi pada kenyataannya kalimat itu hanya kuucapkan dalam pikiran saja dan tidak tau kenapa hari ini aku mengucapkan kalimat itu dengan lantang.” Dokter muda itu tersenyum sekilas dan menuliskan sesuatu di berkasku, hasil pemeriksaan hari ini.

***

Angin laut yang berhembus kencang menerbangkan syal yang kulilitkan satu kali di leherku, aku membiarkan benda itu terbang menjauhiku “Laut adalah hal terindah yang pernah aku lihat, aku merasa bebas dan hidupku seolah tanpa beban.” Aku memejamkan mataku dan merentangkan tanganku untuk merasakan betapa menyenangkannya angin laut.

“Angin begitu kencang, kamu akan kedinginan tanpanya.” Seseorang kembali melilitkan syal pada leherku, aku membuka mataku dan berbalik sehingga berhadapan lansung dengan laki-laki yang mengambilkan syalku.

“Dokter?” tanyaku tak percaya ketika mengenali laki-laki itu adalah orang yang telah membebaskanku, dia telah membebaskanku dari penderitaan yang kualami selama bertahun-tahun, penderitaan yang kualami ketika hidup bersama orang-orang yang tak mampu mengendalikan emosinya bahkan tak mampu mengenali dirinya sendiri.

“Bagaimana anda bisa tau aku ada disini?” aku sangat bahagia saat melihat Dr. Andra, seseorang yang paling berjasa dalam mengembalikan masa depanku.

“Paman yang memberitahukannya padaku.” Jawabnya singkat dengan senyum jenaka menghiasi bibirnya “Pasti kau akan bertanya, bagaimana aku bisa mengenal pamanmu?” lanjutnya cepat dan aku hanya mengangguk berharap dia segera menjawab pertanyaan yang diajukannya, pertanyaan yang sangat ingin aku tahu jawabanya.

“Karena aku adalah Andra, Andra kecil yang selalu kau bantu saat aku menangis dikerjai oleh Bima.” Jawabnya pelan namun tegas, jawaban yang diucapkan dengan sepenuh hati, aku tau itu karena matanya mengucapkan hal yang sama, sinar yang terpancarkan oleh matanya secara jelas memancarkan kejujuran dan ketulusan dari sang pemilik.

“Maaf karena aku terlambat membawamu keluar dari penjara itu.” Lanjutnya kemudian dan meraihku dalam pelukannya.

***

You May Also Like

0 Comments